#9

1.7K 197 84
                                    

Remaja 15 tahun itu terdiam, sejenak mencoba mencari tahu apa yang tengah ayahnya bicarakan dengan seorang dokter itu. Ia hanya duduk pada kursi di samping pintu sebuah ruangan dimana sang ayah tengah berbincang dengan seorang dokter paruh baya.

Belum puas dahaganya akan keingintahuannya, ia sudah digiring menuju sebuah ruangan lain yang tak jauh dari ruangan sebelumnya. Ia menerima sebuah pakaian dari seorang perawat yang memintanya mengganti seluruh yang ia kenakan dengan pakaian yang baru saja diterimanya.

"Ayah, aku mau dibawa kemana?" Ia mulai takut, seorang perawat menarik tangannya menuju ruangan entah apa itu, ia tak sempat melihat tulisan di atas pintu sebelum masuk, sibuk dengan rasa takut yang perlahan menggerayangi dirinya.

Ketakutannya semakin jelas kala sang ayah tak menggubris pertanyaannya. Pria itu malah memalingkan wajah seakan tak ingin melihat mata berkaca sang putra.

Tubuhnya perlahan dibaringkan di atas ranjang sempit, kedua tangannya ditarik untuk direntangkan oleh perawat yang menariknya tadi dan tak lama kemudian seorang dokter dan perawat lain mulai memasuki ruangan.

"Apa pasien sudah siap?" Joan masih buta akan keadaan hingga tiba-tiba seorang perawat mengoleskan sesuatu yang dingin di lengannya yang ia tahu prosedur itu dilakukan sebelum melakukan penyuntikan.

"Aku mau diapakan? jangan, tolong-- akhh!" Ia memekik saat perawat itu mulai menusukkan jarum infus pada lengannya.

Ingin sekali Joan memberontak, tapi kedua lengannya sudah diikat pada sebuah papan penyangga yang menyangga kedua lengannya.

"Ibu, aku takut ... Dokter tolong, aku takut." Ia semakin takut saat melihat dokter itu membawa beberapa suntikan dan mulai menyuntikkannya pada selang infus yang terpasang di lengannya.

"Ayah." lirihan yang teredam masker oksigen yang baru terpasang pada wajahnya itu menjadi kata terakhirnya sebelum gelap menguasainya, sebelum mimpi itu hadir dan membuatnya bimbang.











.
.
.

"Sakiit ... Ibu, kepala Lin sakit sekali." Gadis itu terus merintih dengan tangan tak lepas dari kedua sisi kepalanya.

Tari berusaha menahan tangan mungil itu untuk mencegahnya semakin menyakiti kepalanya sendiri.

"Sayang tenang, dengar ibu, Nak. Tenang ya dokter akan segera kemari." Sudah lewat satu menit Tari menekan tombol darurat tapi dokter tak kunjung datang ke ruang rawat sang anak.

"Kak Jo hiks kak Ian, ayah." Gadis itu tak hentinya merapal semua nama kesayangannya membuat hati sang ibu semakin teremas, putrinya tersiksa dan ia tak dapat melakukan apa-apa.

Hingga suara derit pintu dan langkah terburu seorang dokter membuatnya mundur dan memberi akses pada dokter tersebut untuk menangani putrinya.







.
.
.














"Dimana Joan?" Tari yang masih sesenggukan dan menanti pintu ruangan putrinya terbuka itu mulai mempertanyakan keberadaan putranya pada sang suami yang tengah duduk terdiam di sampingnya.

Pasalnya, saat Joan tengah asik bercanda dengan sang adik tadi tiba-tiba Sigit datang dan membawa pemuda itu dengan sedikit terburu. Mengabaikan teriakan si bungsu dan pertanyaan dari sang istri yang mencoba menahannya.

"Jangan katakan kau menjual darahnya lagi? Joan itu masih sangat muda, kau juga tahu kalau dia itu gampang sakit--

"Dia ada di ruangan mawar nomor sembilan." Tari terdiam mendengar jawaban sang suami.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang