#15

1.5K 180 80
                                        

"Kakak!"

Tari lari tergopoh-gopoh menuju ruang tengah, ia terkejut saat mendapati Joan yang merintih kesakitan sembari memegangi pinggangnya di atas lantai.

"Apa yang kau lakukan!?

Tari berteriak marah pada sang suami, ia mencoba meraih tubuh Joan untuk ia dekap.

"Jo, kau tak apa, Nak? Mana yang sakit?"

"K-kak Ian, kakak kena cambukan ayah."

Tari melihat Ian yang masih membungkuk di hadapan sang adik dengan ringisan yang menghiasi wajahnya. Sadar jika dirinya diperhatikan, Ian lantas menegakkan kembali tubuhnya.

"Ian, kau tak--"

"Lain kali jangan buat orang tua itu marah atau kau akan tahu seperti apa rasanya dicambuk."

Ian berujar datar pada Joan tanpa mengindahkan pertanyaan dari sang ibu. Ia berdiri dan berjalan perlahan menuju kamar utama dimana ada si bungsu disana.

"Kapan kau berhenti menggunakan kekerasan pada anak-anakmu? Kau tak lihat Joan sedang kesakitan?"

"Tapi anak ini sudah membuat adiknya menangis, kau tak khawatir dengan kondisi Ririn, hah?"

"Tapi Joan sedang sakit, kita bisa memberi pengertian pada Ririn, jangan paksakan kehendakmu pada anak-anak. Apa kau tak puas sudah kehilangan putra-putramu?"

Sigit terdiam, meski emosinya sudah tak sedalam tadi, ia masih bisa merasakan dadanya yang sesak. Ucapan sang istri barusan justru menambah rasa sesak yang ada. Benar, ia bahkan sudah kehilangan dua orang putranya.

"Ibu, s-sakit."

Mendengar rintihan Joan, Tari segera membopong anak itu menuju kamarnya.









.
.
.






Ian berbaring menyamping sembari memeluk tubuh mungil sang adik di atas ranjang. Ia menepuk-nepuk pelan pantat bulat Ririm hingga sang empu kembali menuju alam mimpi setelah memakan makan siang dan meminum obatnya dengan bantuan sang kakak.

Senyum terulas dari bibir si pemuda, menampakkan dua gigi depan yang menyembul lucu. Ian lupa kapan terakhir kali ia memiliki waktu seperti ini dengan sang adik. Biasanya, saat ia ingin menghabiskan waktu di rumah bersama sang adik, Sigit yang mengetahuinya tak akan tinggal diam, ia bahkan terang-terangan menolak kehadirannya.

Tapi kali ini ayahnya itu harus mengalah, si bungsu yang meminta agar Ian yang menyuapinya dan menemaninya tidur. Sigit yang tak nyaman dengan keberadaan putranya itu pun memilih untuk keluar.

"Ian."

Ian berhenti melangkah saat mendengar suara sang ibu yang memanggil namanya. Ia lantas beranjak untuk mendekati sang ibu yang tengah terduduk di atas sofa lusuhnya sembari melipat pakaian setelah sang ibu memberi kode dengan menepuk sisi kosong di sebelahnya.

"Buka bajumu." Pemuda itu menurut, ia membuka jaket dan kaos tipisnya.

Tari menutup matanya sejenak saat melihat luka lebam memanjang pada punggung sang anak.

"Ssshh ...," ringis Jungkook kala ibunya mengoleskan salep pada lukanya.

"Terimakasih sudah melindungi adikmu, ayahmu benar-benar keterlaluan."

Ian tak menjawab, ia masih menikmati sensasi perih yang ditimbulkan oleh salep yang membaluri lukanya.

"Ayahmu benar-benar tak pernah berubah, dia tak pernah belajar dari kesalahannya, Ibu bahkan sudah kehilangan dua anak Ibu, I-ibu--"

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang