#17

1.5K 199 105
                                        

"Ah, maaf permisi."

Gavin memasuki ruangan itu dengan langkah yang begitu canggung. Ini pertama kalinya dalam satu minggu kembali bertemu keluarga kandungnya, keluarga yang ia tinggalkan.

Ia melirik sekilas pada Ian yang tengah membaringkan si bungsu di atas sofa. Matanya tak sengaja bertemu dengan manik bulat sang adik. Gavin terkesiap, ia dengan segera memutus pandang dan segera beranjak untuk mendekati ranjang pasien di mana adiknya yang lain tengah terkapar.

Sekilas, Ian merasakan ada sesuatu yang mengganggu hatinya ketika mata bulatnya tak sengaja beradu tatap dengan dokter muda itu. Tapi, Ian tak mau ambil pusing, ia segera kembali melempar tatap ke arah sang adik bungsu yang kembali merengek.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada Joan, Dokter? Dia terus mengeluh pinggangnya sakit, apa luka operasinya infeksi?"

Gavin menelan ludahnya gugup. Melihat wajah khawatir sang ibu dan tatapan berkaca dari sang adik yang tengah terkapar itu membuatnya lupa akan apa yang seharusnya ia lakukan sebagai dokter profesional.

Ia melihat hasil pemeriksaan sang adik beberapa saat lalu. Dari hasil tes darah dan tes urin yang Joan jalani, ternyata ada indikasi ginjalnya bermasalah. Tapi, ia tak akan menyimpulkan secepat itu. Ia harus memastikannya kembali dan ia sangat berharap bahwa itu hanya indikasi penyakit ringan lainnya.

Tanpa menjawab pertanyaan dari wanita yang tengah memangku harap pada jawabannya itupun, akhirnya Gavin bergerak maju untuk semakin mengikis jarak dengan sang adik. Tanpa sadar tangannya terangkat untuk menyibak rambut depan Joan yang memanjang. Wajah sayu itu semakin membuatnya tak kuasa mengeluarkan kata-kata dari mulut dengan senyum kotak itu.

"Jangan khawatir dan jangan takut, kau pasti baik-baik saja. Kau harus melakukan beberapa tes untuk mengetahui monster apa yang membuat adik kakak ini kesakitan."

Senyum tipis Gavin ulas, berharap dengan satu tarikan bibirnya membuat sang adik kembali terisi dengan semangat dan rasa percaya diri. Ia hanya berusaha menyampaikan pada Joan jika apapun yang terjadi ia akan selalu berada di samping pemuda mungil itu.

"Apa kau pernah melihat ada bercak darah pada air senimu?" Joan tampak berfikir sebentar sebelum mengangguk.

"Aku jarang memperhatikan, tapi kemarin aku melihatnya. Hanya setitik kurasa."

Gavin mengangguk. Tangan jenjangnya bergerak lihai untuk mengatur laju infus.

"Eunghh, Kak, tanganku nyeri," adunya pada Gavin yang hanya dokter muda itu balas dengan senyum  menenangkan.

"Iya, Kakak percepat laju infusnya. Setelah infusnya habis kau harus melakukan prosedur CT-Scan."

Mendengar hal itu, seketika air muka Joan berubah. Tubuhnya sedikit menegang dengan otot wajah yang ikut menegang. Gavin yang menyadari hal itu segera kembali ke sisi sang adik.

"Joan?" Taehyung dengan lembut mencoba mengambil atensi Joan, hingga panggilan kedua baru pandangan ketakutan itu bisa ia tangkap.

"A-aku takut, jangan ke ruangan itu lagi. A-apa aku mau dioperasi lagi?"

Bisa Gavin rasakan tangan mungil dalam genggamannya itu bergetar. Ia tahu, Joan pasti mengalami trauma akibat kejadian buruk yang ia alami. Gavin berkali-kali mengutuk dirinya dalam hati. Jika saja hari itu ia tak menunda operasinya, pasti kini adiknya tak akan kesakitan, tak akan ketakutan yang membuat dirinya menjadi lebih sakit daripada menjalani operasi itu sendiri.

Gavin dengan segala kata penenangnya mencoba untuk menenangkan sang adik. Tanpa ia ketahui di belakangnya sang ibu tengah meraung dalam hati, matanya yang sipit jadi terlihat hanya segaris saat dirinya membekap mulutnya untuk tak mengeluarkan isakan meski tangisnya tengah pecah.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang