#21

1.5K 197 87
                                        

Tari tak mempertanyakannya lagi, perihal apa yang membuat sang suami sakit seperti ini. Bukannya tak perduli, hanya saja ia merasa canggung dengan Sigit setelah apa yang sudah menimpa Joan.

"Ibu," panggil Joan dengan nada yang sedikit lemas. Kini ia, Ririn dan sang ibu tengah duduk di meja makan kayu yang terletak di dapur, meski sudah sedikit rapuh tapi Tari bersyukur benda itu masih bisa digunakan.

"Ada apa? Ingin sesuatu?"

Joan menggeleng, ia tak inginkan apapun dalam hidup ini kecuali kasih sayang yang utuh dari ayah dan kakaknya.

"A-aku tak melihat ayah berangkat kerja hari ini. Atau ayah sudah berangkat pagi-pagi sekali?"

"Ayah sakit, Kak, kepala belputal-putal katanya," jawab si kecil dengan tangan sibuk memilah antara tempe dan tepung yang menyelimutinya.

Joan lantas menoleh pada sang ibu, mencari kebenaran dari pancaran mata sayu itu. Rasa khawatir tiba-tiba menyergap dirinya kala anggukan lemah ia dapat dari sang ibu.

"Mau kemana?" Tari mencekal tangan Joan yang hendak beranjak dari duduknya.

"Mau lihat ayah. Apa ayah sudah makan? Bisa aku antarkan sarapannya?"

Tari tak menjawab apapun, ia hanya menarik tangan sang anak dan memerintahkannya untuk duduk kembali.

"Biarkan ayahmu istirahat. Ayo, makan sarapanmu dan minum obat, nanti kau juga harus mendapatkan suntikan itu, ingat?"

Wajah Joan berubah masam mendengar apa yang ibunya katakan, ia kembali duduk dan memakan sarapannya dengan tenang.




.
.
.



Hari ini Gavin libur dari pekerjaannya. Ia sangat bersyukur mendapat libur hari ini karena ia punya satu rencana untuk ia lakukan hari ini.

"Aku harus mandi dan segera bersiap. Ketahuan atau tidak sudah tidak masalah, ibu bahkan sudah merasa dekat denganku."

Setelahnya ia masuk ke kamar mandi, keluar hanya dengan handuk yang melilit pinggang. Tubuh bagian atas ia biarkan tanpa busana, tetes-tetes air dari ujung rambutnya yang basah menambah kadar ketampanannya.

Gavin berdiri di depan cermin besar di kamarnya sembari mengusak rambutnya dengan handuk kecil. Dalam diam ia mencoba memeta sendiri bayangan tubuh dan wajahnya di depan cermin. Ada satu yang mengganggunya dan ia berbalik menampakkan punggungnya dalam bayangan cermin itu.

"Bekas luka ini akan selalu ku kenang, ayah. Mungkinkah jika aku kembali kau akan mengingatnya?"

Bekas luka melintang pada punggungnya itu tak pernah hilang. Sang ayah angkat dulu pernah memekik tertahan karena terkejut saat melihat bekas luka yang masih sangat baru saat ia menemukan Gavin kecil yang tergeletak di pinggir jalan di bawah pohon.

Setelah ia tumbuh dewasa, ayah angkatnya pernah menawarkan untuknya melakukan operasi guna menghilangkan bekas luka yang ternyata sangat nyata terlihat, tapi ia menolak. Walau bagaimanapun, ia tak akan menghapus ingatannya dengan keluarga kandungnya dan bekas luka itu adalah salah satu yang akan terus mengingatkannya pada kelurganya terutama sang ayah.

"Ahaha, kau lucu sekali, sudah tua tapi masih saja menangis," ia mengusap setitik air mata yang meluncur dari sudut matanya dan dengan segera bersiap untuk pergi ke tempat tujuannya.









Di sinilah Gavin berada, memarkirkan mobilnya sedikit jauh dari rumah lamanya, rumah keluarga kandungnya. Ia berjalan dan berdiri di bawah sebuah pohon dengan semak-semak bunga di sekitarnya. Ia hanya rindu, rindu dengan sang ibu dan adik-adiknya.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang