#2

2.6K 266 26
                                    

Sigit mengusap wajahnya kasar, rambut yang sudah acak-acakan itu ia remas beberapa kali hingga meninggalkan beberapa helai di kedua genggaman tangannya. Ia bingung, pengobatan si bungsu ternyata tak murah. Obat epilepsinya selama ini saja mengandalkan bantuan dari keringat sang istri, lalu bagaimana sekarang, bahkan obat untuk tumor otak jauh lebih mahal.

"Aaaarrggghh ... bagaimana ini? aku tak mau kehilangan putri kecilku." Akhirnya ia menangis tersedu di atas kursi panjang di sebuah lorong yang sepi.

Baru saja masuk rumah sakit, ia sudah ditodong dengan bermacam-macam administrasi dan biaya yang membuatnya menelan ludah, jumlah itu bahkan lebih besar dari pada gajinya satu bulan menjadi cleaning service.

Ia sudah mencoba mencari pinjaman pada teman-teman kerjanya yang juga berprofesi sebagai cleaning service di rumah sakit itu. Ya, ia membawa Ririn ke rumah sakit tempat di mana ia bekerja. Berharap ia mendapat sedikit keringanan karena ia adalah bagian dari rumah sakit itu, namun nyatanya sama sekali apa yang ia bayangkan tak ia dapatkan.

Begitu pun dengan usahanya mencari pinjaman, nyatanya ia tak pernah mempunyai teman yang benar-benar mengerti dirinya, semua kawannya tak ada yang bersedia maupun dapat membantunya.

"Aku harus bagaimana Tuhan? Aku harus bagaimana?"

Sedang di lain tempat, Tari masih betah mengusap surai panjang si bungsu yang masih betah memejam. Joan tertidur di sofa yang terletak di samping tempat tidur sang adik, ia lelah karena terlalu lama menangis. Takut terjadi sesuatu pada sang adik dan takut dengan sang ayah tentunya.

"Ibuuu." Lirihan itu membuyarkan lamunan Tari  yang sejak tadi hanya terdiam menatap kosong tangan berinfus sang putri dengan tangan tetap membelai surainya.

"Ririn, sayang, apa ada yang sakit?" Gadis kecil itu mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa asing dengan langit-langit ruangan ini. Itu terlihat putih dan bersih, lampunya juga besar dan terang, tidak seperti langit-langit di rumahnya yang sudah lusuh dengan satu lampu yang kecil dan tidak terlalu terang.

"Bukan lumah Lin?" Tari mengangguk, tak bisa lagi untuk tetap mempertahankan air matanya untuk tetap tinggal tak keluar. Sedangkan Ririn semakin mengedarkan pandangannya.

Ruangannya bagus, ada tirai di sisi kirinya dan tembok tinggi di sisi kanannya, karena ruangan itu diisi oleh dua pasien jadi ada tirai di tengah sebagai pemisah. Lalu ada sofa yang terlihat empuk yang tengah diduduki kakaknya yang sedang tidur.

"Ibu, lumahnya bagus tidak sepelti lumah Lin, ya." Tari semakin terisak, ia bahkan meremas bagian bawah rok lusuhnya saat mendengar sang anak berkata demikian.

Tari terkesiap saat Ririn tiba-tiba hendak bangkit tapi urung saat merasakan kepalanya berputar serta  ada sedikit denyutan yang membuatnya kembali terbaring.

"Ibu, sakit." Ririn meringis merasakan kepalanya yang berdenyut sakit. Ia sebenarnya adalah gadis periang, ia jarang sekali menangis bahkan saat terjatuh dan berbekas luka pada tubuhnya pun ia jarang sekali menangis.

"Sebentar, ibu panggilkan dokter, ya." Ririn tahu siapa itu dokter, ia kerap kali dirawat oleh orang berbaju putih itu ketika epilepsinya kambuh, tapi ia baru sekali ini menginap di rumah sakit setelah kecelakaan yang menimpanya hampir dua tahun yang lalu.

"Ririn sudah bangun?" Joan yang baru terbangun segera mendekati ranjang sang adik saat matanya tak sengaja bersitatap dengan mata sayu sang adik.

"Ibu kemana?" tanyanya dengan suara lembut, ia menggenggam tangan mungil sang adik dan mengecupnya beberapa kali.

"Panggil doktel."

Ceklek




"Ibu- eoh?"

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang