#7

1.7K 199 40
                                        

"Hasilnya 94% cocok."

Ia tersenyum mendengarnya, itu artinya ia bisa menyelamatkan hidup seseorang yang sudah menyelamatkannya dan merawatnya hingga menjadi dokter muda seperti sekarang ini.

"Syukurlah kalau begitu, kira-kira kapan jadwal operasinya?"

"Lusa operasinya bisa dilaksanakan." Dokter itu melihat agenda yang sudah ia buat sebelumnya pada sebuah buku catatan.

"Emm Dokter Rudi, apa bisa jadwalnya diundur satu hari? Besok saya juga ada jadwal operasi yang sudah diagendakan dan lusa saya harus melakukan suatu pekerjaan di luar rumah sakit." Dokter paruh baya itu nampak berpikir sebentar lalu menuliskan sesuatu pada buku catatannya.

"Baiklah Dokter Gavin, dua hari setelah ini kita bisa lakukan operasinya." Dokter muda itu tersenyum lega mendengar  penjelasan dari dokter senior di hadapannya.

"Terimakasih, Dokter. Tapi saya mohon rahasiakan ini dari keluarga saya karena sebenarnya ayah dan ibu saya tidak mengijinkan saya untuk melakukan hal ini."

"Baiklah, Dokter tidak perlu khawatir."










Gavin keluar dari ruangan dokter Rudi dengan perasaan lega luar biasa. Ia sudah ingin melakukan hal ini sejak berbulan-bulan yang lalu saat sang ayah angkat didiagnosa menderita gagal ginjal dan selama ini harus melakukan cuci darah. Tapi, kedua orang tua angkatnya itu menolak keras keinginan Gavin, hingga kemarin ia memutuskan untuk melakukan serangkaian tes kecocokan ginjal tanpa sepengetahuan kedua orang tua angkatnya.

Meski seseorang akan tetap bertahan dengan satu ginjal, tapi bagi kedua orang tua angkat Gavin tak menginginkan anaknya untuk menjadi salah satu dari orang tersebut. Mereka hanya takut jika nantinya akan terjadi sesuatu pada Gavin jika ia nekad mendonorkan ginjalnya pada sang ayah.

Gavin bersenandung riang dalam setiap langkahnya hingga tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sudah lama sangat ia rindukan tengah berlari mengikuti sebuah brankar yang didorong di hadapannya.










"Ian, adikmu."

Gavin yang hanya berdiri beberapa langkah tak jauh dari pasangan anak dan ibu yang tengah menangis di depan ruang UGD itupun terkesiap saat satu nama yang juga amat dirindukannya disebut.

"Ian, kau kah itu?'

Ia hanya mampu membatin, kakinya seakan terpaku pada lantai dan tak ingin untuk bergerak satu langkah pun dari sana.

"Ririn pasti baik-baik saja, Bu. Ibu tenang saja."

'Ririn? Ada apa dengannya?'

Hingga nyaris lima belas menit lamanya Gavin berdiri di sana dan lamunannya terbuyarkan saat seseorang menepuk bahunya.

"Dokter Gavin?" Ia menoleh sesaat dan mendapati wajah rekan kerjanya  di sana.

"Anda sedang apa?" Gavin mengusap wajahnya dan tersenyum canggung kemudian pada dokter seniornya itu.

"Tidak ada, Dok. Saya permisi dulu." Gavin beranjak dari sana dan masih melirik Tari dan Ian yang masih betah menunggu di depan ruang UGD itu.










Gavin masih memikirkan, apa kiranya yang terjadi pada adik kecilnya. Anak itu belum genap satu minggu keluar dari rumah sakit tapi kenapa sudah kembali dilarikan ke UGD?

Di tengah-tengah pemikirannya, ia dikejutkan dengan seorang perawat yang berlari menuju ke arahnya dengan membawa sebuah map entah berisikan apa.

"Dokter Gavin! ah ... untung saya bertemu anda. Tolong berikan ini pada dokter Hany di ruangan radiologi, saya sudah tidak tahan, saya ingin buang air kecil." Perawat wanita itu bergerak gelisah dan tanpa menunggu jawaban dari Gavin, ia menyerahkan map itu dan segera berlalu dari sana untuk mencari toilet terdekat.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang