#36

1.2K 141 56
                                        

"Cepat kemasi barangmu!"

Tari yang semula meringkuk di atas ranjang itu segera bangkit. Menatap penuh tanya pada sang suami yang tengah memasukkan baju-bajunya ke dalam sebuah tas jinjing besar.

"Apa maksudmu? Ririn hilang dan kau-- kau malah ingin pergi?"

Sigit berhenti dari acara berkemasnya. Menatap tepat pada manik sang istri yang kini sudah memerah dengan kelopak mata yang sembab.

"Kita akan menjemputnya, kita harus pergi dari sini jika ingin mendapatkan Ririn kembali."

"Jadi, kau tahu di mana anakku berada? Katakan, Mas, di mana anakku?!"

Tari nyaris melompat dari atas ranjang dan menerjang tubuh tegap sang suami untuk di pukul beberapa kali dadanya.

"Jangan diam saja, cepat katakan pada polisi, kita harus menjemputnya sekarang. Ayo, Mas, cepat!"

"DIAM!" Sigit meraup kasar oksigen yang seakan sudah lama tak ia dapatkan.

"Kau tak mengerti. Ririn akan aman jika kita pergi dari sini secepatnya. Percaya padaku, anak kita akan baik-baik saja jika kita menuruti perintahnya."

Tari terdiam, ia mengusap kasar jejak air mata yang sudah menghiasi sebagian besar wajahnya.

"Siapa? Siapa dia? KATAKAN SIAPA DIA?!"

Sigit kembali mengambil nafas panjang, kini mau tidak mau ia harus memberitahu sang istri.

"Bisma."

Tari mengerutkan dahinya dalam. Setelahnya, Sigit kembali bersuara setelah menangkap raut kebingungan dari sang istri.

"Ayah angkat Gavin. Maaf tak memberitahumu tentang hal ini. Dia mengancamku. Bukan aku, tapi keselamatan anak-anak kita. Dia yang sudah mengambil Ririn. Dia akan menyerahkan Ririn besok saat kita sampai di stasiun."

Tari tercengang mendengar kenyataan yang baru saja sampai di telinganya. Ia tak menyangka ada orang sejahat itu.

"Kita harus menjauhi Gavin jika ingin Joan dan Ririn selamat. Jadi, mari kita pergi dari sini. Gavin sudah dewasa, dia bisa menjaga dirinya sendiri."

Tangisan wanita paruh baya itu kembali pecah. Raungan frustasi terdengar dari bilah bibir tipis yang kini mulai memucat. Sigit dengan segera menarik tubuh sang istri untuk ia peluk.

"Semua akan baik-baik saja jika kita menurut."





.
.
.












































Pagi menjelang, kini di dalam rumah sewa kecil itu semuanya tengah bersiap. Kereta akan berangkat pukul delapan pagi dan kini masih jam enam.

Sang ibu tengah berkutat dengan alat masak untuk membuat sarapan sederhana. Setidaknya Joan harus sedikit mengisi perutnya karena harus meminum obat.

"Apa obatmu sudah kau bawa semua?"

Sang kepala keluarga beralih untuk duduk bersanding dengan satu-satunya anak lelaki yang tersisa di rumahnya yang tengah terdiam di atas kasur.

"Sudah." Meski menjawab, tapi kepalanya terus mengedar ke seluruh penjuru ruangan.

Sigit tahu, anaknya itu pasti berat untuk meninggalkan rumah yang sudah ditinggalinya sejak bayi. Sigit lantas meraih bahu sang anak untuk kemudian ia rapatkan pada tubuhnya.

"Kita akan hidup lebih baik setelah ini. Kita mulai semua dari awal, hanya ada Ayah, ibu, kau dan Ririn." Sigit berujar lirih sembari mengusap lengan Joan dengan gerakan naik turun.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang