Joan tergugu di sudut kamarnya. Hari ini ia sudah kembali menginjak lantai rumah. Senang tentu saja, karena berhari-hari ia rasa telah terkurung di dalam kamar bernuansa putih dan beraroma cairan infus itu. Tapi kesenangan itu tak lama bertahan dalam hatinya.
Ia pikir terjatuh setelah diterbangkan itu tak sesakit ini. Namun, nyatanya ia tidak bisa menahan rasa sesak kala rasa bahagia itu hancur setelah sang ibu membawakannya berita duka perihal kematian sang kakak.
"Heeuunnggg ... kenapa semuanya diam? kenapa semuanya menyembunyikan ini dariku? aku bahkan tak bisa mengantar jasadnya ke tempat peristirahatan terakhirnya."
Remaja itu terus meracau, bertanya seakan-akan ia sedang berhadapan dengan siapa saja yang sudah membohonginya beberapa hari ini.
Kakinya ia tekuk dengan kepala yang ia kubur dalam di antara kedua lututnya. Air mata enggan untuk berhenti mengucur, menyiratkan betapa rasa sakit ingin membunuh remaja tanggung itu.
Di luar kamarnya, sang ibu terisak dalam pelukan ayahnya. Wanita beranak empat itu tak menyangka jika dengan menyembunyikan kematian putra keduanya bisa membuat putra ketiganya lebih hancur seperti ini.
"Kak Jo, ayo kelual. Kita main-main sama-sama, kita beli es klim, Lin punya uang, lho."
Si kecil itu tahu jika sang kakak tengah menangis di dalam. Ia sangat tahu karena tidak akan pintu kamar itu terkunci kecuali si empunya kamar tengah menangis.
Bermenit-menit sudah si kecil mengetuk pintu dan berteriak mencoba membujuk sang kakak untuk keluar namun nihil. Hingga tenggorokannya terasa kering pun tak ada tanda-tanda sang kakak hendak keluar dari persembunyiannya.
"Haus, kak Jo lama tidak kelual- kelual. Ibu, Lin mau minum ail walni- walni."
Mendengar cicitan si bungsu, Tari lantas mencoba menegakkan badan, meski jujur saja kini rasanya ia sudah menjelma menjadi makhluk yang tak bertulang belakang. Tapi, ia tidak boleh mengabaikan siapapun. Ia masih bertanggung jawab atas anaknya yang lain.
Di dapur, setelah Tari membuatkan si bungsu secangkir kecil sirup, gadis kecil itu berceletuk sesuatu yang membuat Tari tersadar dan segera melakukan apa yang bungsunya katakan.
"Kenapa tidak panggil- panggil doktel tampan? Kak Jo pasti mau mendengalkan doktel tampan."
Tanpa sepengetahuan sang saumi, akhirnya Tari mengirim satu pesan singkat pada anak sulungnya itu. Hingga tak sampai satu jam tiba-tiba pintu rumah terketuk dari luar.
"Itu pasti Gavin." Tari lantas bergegas membuka pintu dengan wajah penuh harap. Berbeda dengan sang suami yang membulatkan matanya.
"Di mana Joan, Bu?"
"Untuk apa kau kemari?" Belum juga Gavin melangkah jauh ke dalam rumah, ia sudah ditodong pertanyaan itu dari sang ayah.
"Ibu bilang Joan mengurung diri di kamar, jadi aku--"
"Kenapa kau memintanya kemari?" Pandangannya ia arahkan penuh pada sang istri. Ia tak habis pikir, ternyata istrinya tak mau mendengarnya.
"Sudah ku bilang jangan libatkan dia dalam masalah keluarga kita. Dia itu tak lebih dari sekedar dokter yang merawat Joan di rumah sakit. Di luar itu dia bukanlah siapa-siapa."
"Aku anakmu, Ayah." Gavin mencoba melirih, berharap sang ayah akan merubah pikirannya tentang menolak dirinya kembali.
"Dulu, saat namamu Gavin Rasean Abdullah, bahkan sekarang kau tak lagi menggunakan nama itu."
"CUKUP! SUDAH CUKUP! Mas, ku mohon. Terlepas dari masalah itu, sekarang yang harus kita pikirkan adalah Joan. Aku meminta Gavin kemari karena aku yakin Joan mau untuk diajak bicara dengannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] J O A N D R A®
FanfikceRemaja tanggung tak tahu apa salahnya yang ia tahu ibunya berkata bahwa dia adalah harta keluarga. Mengapa ayahnya selalu bersikap kasar setelah kepergian sang kakak pun ia tak tahu apa sebabnya. Yang ia yakini hingga saat ini hanyalah ayahnya akan...