#25

1.3K 183 77
                                        

"Lebih baik kau pergi Dokter, kau sudah terlalu jauh mencampuri urusan keluargaku."

Baik Gavin maupun Tari terkejut saat mendapati sang kepala keluarga tengah berdiri di ambang pintu dengan raut tak bersahabat di wajahnya. Gavin lantas berdiri, sedikit membungkuk tanda hormatnya pada yang lebih tua sebelum menjawab ucapan sang ayah.

"Maafkan aku, Pak, aku hanya ingin Joan sebagai pasienku mendapatkan apa yang seharusnya ia dapatkan dan--" Belum selesai ia berucap, Sigit sudah lebih dulu menyela.

"Dan ini sudah bukan ranahmu, Dokter. Kau boleh mengusirku tempo hari karena di sana memang kau lebih berkuasa dari pada diriku. Sekarang lihatlah, bahkan kau berdiri di atas lantai rumahku dan aku tak memperkenankan dirimu ikut campur dalam masalah keluargaku."

"Mas--"

"Diam kau! Sekarang masuk ke kamar," perintah Sigit pada sang istri yang seakan hendak membela dokter muda itu.

"Kau tak mendengarku, Lestari?" ulangnya dengan nada yang lebih dingin saat Tari tak kunjung menuruti perintahnya.

Tari sempat menatap nanar pada sosok Gavin, matanya bahkan menyiratkan rasa tak enak yang begitu besar. Seakan mengerti, dokter muda itu lantas mengangguk hingga Tari perlahan menghilang dari pandangannya.

"Maafkan aku, tapi sekeras apapun anda memintaku untuk menjauh, aku tak akan pernah membiarkan Joan sendiri, dia akan berjuang bersamaku karena dia adikku."

Tersentak. Sigit yang bertolak pandang dengan Gavin itu terkejut saat kalimat itu terlontar dengan mulus dari mulut yang lebih muda. Sigit merasa ada pergerakan di belakangnya dan ia tahu, Gavin sudah hendak keluar dari rumahnya.

"Sebenarnya siapa kau?" tanya Sigit saat Gavin sudah nyaris melangkahkan kaki ke luar rumah. Pemuda itu berhenti sejenak sebelum berbalik badan dan menatap tepat pada manik serupa dirinya itu.

"Aku bukan siapa-siapa, aku hanya anak yang tak diinginkan orang tuanya, lebih tepatnya, ayahnya. Aku permisi."

Setelah punggung Gavin benar-benar hilang dari pandangannya, Sigit tiba-tiba meluruh di atas sofa. Ia merasakan sesak yang amat sangat hingga kedua kakinya pun seakan tak ingin lagi menopang beban tubuhnya.

"Benarkah, benarkah apa yang kupikirkan selama ini? K-kau Gavin, kau anakku?"
















.
.
.

Pagi ini Tari terbangun dengan badan yang terasa pegal, mungkin karena kemarin ia berjalan nyaris seharian untuk menjual kue.

Sedikit tersentak saat melirik jam yang tergantung pada tembok sisi kirinya, jarum pendek pada jam bulat itu menunjukkan pukul enam sedangkan jarum panjang mengarah pada angka delapan.

"Astaga! Aku kesiangan." Segera ia bergegas menuju dapur. Ia harus menyiapkan sarapan untuk suaminya dan kedua anaknya.

"Lho, Jo, kenapa pakai seragam?" tanyanya saat melihat Joan sudah mengenakan seragam sekolahnya dan duduk di atas sofa di depan TV yang menyala dengan Ririm berada di atas pangkuannya.

"Tentu saja aku akan pergi ke sekolah, Bu," jawabnya sembari mengusap kepala Ririn yang masih nampak terkantuk-kantuk.

"Mau pelihala batu sepelti Petlik, tidak pelu kasih makan tapi bisa menang lomba," gumam Ririn dengan nada mencicit, terlihat sekali bahwa ia masih mengantuk tapi memaksakan diri untuk menonton serial kartun si spon kuning dan kawan bintang laut merah mudanya.

Tari lantas duduk di samping anak lelakinya, menempelkan punggung tangannya pada dahi yang kini mengkerut itu.

"Masih hangat, tidak usah masuk dulu ya, Nak."

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang