#28

1.1K 164 18
                                        

Dua hari berlalu dari kejadian terbongkarnya rahasia Gavin dengan keluarganya. Selama itu pula ia belum mempunyai kesempatan untuk menjelaskan semuanya pada sang ayah juga memberitahukan pada Joan dan Ririn. Hanya sang ibu yang saat ini sudah bisa menerima dirinya meski dengan berbagai rasa yang berkecamuk dalam hatinya.

Ian? Ia sudah tahu tentu saja, tapi entah pemuda itu bisa menerima atau tidak. Saat itu, setelah kembali dari ruangan Joan, Gavin berniat untuk menjelaskan semuanya pada adik pertamanya, tapi ternyata pemuda itu sudah lebih dulu pergi meninggalkan ruangan Gavin.

"Gavin, mau kemana?" tanya Sinta, ibu angkat Gavin yang melihat putra angkatnya itu hendak kembali keluar setelah baru setengah jam lalu pulang dari pekerjaannya.

"Aku ... ingin menemui ayah."

"Ayah? Vin, sejak kapan kamu--"

"Ayah kandungku, Ma." Bisa Gavin lihat dengan jelas tubuh mamanya seketika menegang. Gavin tak enak hati juga sedikit merasa bersalah karena hal ini.

Ia memang berniat mengungkap semuanya di depan keluarga kandungnya setelah membicarakan semuanya dengan keluarga angkatnya. Tapi apa daya, hal yang tak ia kira terjadi, ayah kandungnya sendiri yang membongkar semua rahasia yang susah payah ia sembunyikan.

"Maaf, Ma. A-aku tak menyangka akan terjadi secepat ini, a-aku tak berniat melakukan hal ini tanpa persetujuan Mama dan papa, tapi ayah kandungku rupanya lebih dulu tahu akan hal ini."

Tak ada yang bisa Sinta katakan setelah itu, Gavin hanya mampu merengkuh tubuh wanita yang sudah belasan tahun ini mencurahkan seluruh kasih sayang padanya itu.

"Jangan pergi, Nak, jangan tinggalkan Mama," pintanya dengan isak tangis yang mulai merambat keluar.

Gavin semakin merasa bersalah, walau bagaimanapun wanita inilah yang dulu menangisinya saat tubuhnya terbaring di atas ranjang pesakitan kala terserang hipotermia dan memohon untuk merawatnya dan tinggal di rumah besar itu.

"Ma, dengarkan aku. Aku berjanji tidak akan tinggalkan Mama. Sampai kapanpun Mama adalah ibu Gavin. Tapi, aku mohon ijinkan aku untuk tetap berbakti pada orang tua kandungku. Mama yang sudah mengajarkan padaku untuk berbakti pada orang tua, untuk berlaku sopan pada orang tua. Sekarang, aku ingin apa yang Mama ajarkan itu tak sia-sia."

Sinta masih asyik menangis sesenggukan dengan tangan yang melingkar erat pada tubuh sang anak angkat yang terbalut jaket kulit dan meremasnya pada bagian belakang.

"Sekarang Mama berhenti menangis, Gavun tidak suka, aku akan sakit jika Mama menangis karenaku. Sekarang Mama istirahat, ayo aku antar ke kamar."











.
.
.










"Kak Jo ... Kak Jo, ada kucing, Lin mau kejal kejal."

Keduanya tengah duduk di teras rumah. Joan tengah melamun dan Ririn yang sedari tadi sibuk bermain dengan boneka jerapahnya kini teralihkan atensinya saat melihat kucing gembul yang tengah berjalan malas di hadapannya.

Kali ini Tari tak sedang berjualan kue. Wanita itu mengadu pusing, mungkin ia sangat lelah karena sakitnya Joan tempo hari, juga karena kesibukannya berjualan kue. Biasanya, selelah apapun yang wanita itu rasakan, wanita itu tak akan mengeluh, ia melakukan apapun untuk keluarganya termasuk bekerja.

"Uuhhh kucing sini-sini, jangan lali lali!"

Joan tak sadar jika sang adik sudah berjalan mendekat ke jalan. Joan masih memikirkan hal-hal yang menurutnya harus ia ketahui tapi keluarganya sengaja menyembunyikan darinya.

Ririn asik mengejar kucing yang kini berlari kecil untuk menyeberang. Gadis kecil itu awalnya ragu untuk mengikuti kucing gembul berwarna abu-abu itu. Dengan otak pintarnya, ia berhenti di pinggir jalan, menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada kendaraan yang hendak lewat.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang