#14

1.5K 191 135
                                        

Sudah terhitung empat hari Joan pulang dari rumah sakit dan hari ini Ririn pun sudah diperbolehkan untuk pulang. Keduanya sangat senang karena bisa kembali bergelung bersama di bawah satu selimut. Si bungsu tak melepas lingkaran tangannya pada pinggang sang kakak, pun sama yang Joan lakukan, ia betah berbaring menyamping berlama-lama dengan lengannya yang dijadikan sang adik sebagai bantal.

Joan sudah mulai berangkat ke sekolah hari ini, tapi Ririn terus merengek tidak mau ditinggalkan. Tari sedikit kualahan untuk menenangkan putri bungsunya itu. Sebenarnya Joan juga tidak tega untuk meninggalkan adiknya, tapi sudah satu minggu ia tak pergi ke sekolah. Tentu saja ia takut jika tertinggal pelajaran terlalu jauh.

"Kak Jo akan langsung pulang setelah jam sekolah usai, Ririn tunggu kakak di rumah, ya?" Si cantik menggeleng keras dengan mata berkacanya. Jika sudah seperti ini akan sulit untuknya meninggalkan sang adik.

"Emm ... bagaimana kalau nanti Kak Jo belikan permen kapas di depan klinik? Kamu suka 'kan permen kapas di sana?" Ririn nampak menimbang-nimbang.

"Benalan beli beli pelmen kapas?"

"Iya, Kakak janji." Joan mengulurkan jari kelingkingnya yang disambut dengan segera oleh kelingking mungil Ririn.

"Janji tidak boleh tipu tipu, ya."

Akhirnya Joan bisa pergi ke sekolah dengan hati yang lega. Di tengah perjalanan ia merogoh saku celananya, dilihatnya dua lembar uang yang tadi ibunya berikan untuk uang sakunya.

"Kalau aku naik bis, uang ini tidak akan cukup untuk membeli permen kapas. Kalau begitu aku akan jalan kaki saja mumpung masih pagi."

Joan memutuskan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, jarak dari rumah ke sekolahnya lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi, baginya itu semua tak masalah, yang terpenting janjinya pada sang adik terpenuhi.

Saat melewati halte bus pertama, ada seseorang yang mengerutkan keningnya kala melihat Joan tak berhenti untuk menunggu bus di sana. Remaja itu terus mengayunkan langkah membuat seseorang tersebut memutuskan untuk beranjak dan sedikit memacu langkah untuk menghampiri Joan.

"Joan!"

Teriakan itu membuat langkah Joan terhenti. Ia bisa melihat seorang gadis yang sudah lama ia kenal itu berlari menghampirinya.

"Tidak menunggu bus?" Rania, gadis itu yang sedari tadi menyimpan tanya perihal Joan yang terus berjalan melewati halte.

"Tidak. Aku ingin jalan kaki saja, sekalian olah raga." Tak sepenuhnya salah memang. Tubuhnya sudah lumayan kaku selama seminggu ini tak banyak melakukan aktivitas. Tapi, tentu itu bukan alasan utamanya.

"Tapi kau baru saja sembuh. Apa tidak apa-apa kalau berjalan kaki sejauh itu?" Lagi-lagi Rania berusaha meyakinkan Joan. Tentu gadis itu merasa khawatir, ditambah lagi kini wajah Joan yang memang sudah putih pucat menjadi sedikit lebih pucat.

"Tidak jauh kok. Itu, busnya sudah datang, cepat kau naik sana."

Rania masih bergeming di atas pijakannya. Ia masih belum bisa mengalihkan perasaan khawatirnya terhadap pemuda di hadapannya itu.

"Ayo!"

Joan sedikit tersentak kala tiba-tiba Rania menarik lengannya. Mereka kemudian berjalan beriringan dengan tangan Rania yang masih menarik lengan Joan. Hingga beberapa saat kemudian Joan menarik tangannya untuk dilepas. Rania tersenyum kikuk tapi dengan cepat ia mengalihkan perhatiannya.

"Aku juga ingin berolah raga, bukan hanya kau yang ingin sehat. Jadi, jangan GR, ya. Aku bukan ingin menemanimu." Rania berjalan sedikit lebih cepat untuk menutupi kegugupannya saat mendapati Joan menatapnya dalam.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang