#16

1.4K 190 95
                                        

"A-ayah?"












Entah akan jadi apa tubuh bocah berusia duabelas tahun itu setelah belasan ayunan ikat pinggang sang ayah mendarat tepat pada kulit punggungnya.

Ian tersedu, nafasnya sesak akibat menangis terlalu lama. Bocah mana kiranya yang tahan dicambuk dengan begitu brutalnya. Tanpa ia ketahui di belakang sana sang ayah pun tengah menahan sesak. Mulutnya memang melayangkan berbagai umpatan tapi mata tajam pria itu nyatanya tengah sama-sama berair.

Sudah nyaris satu minggu ini ia berkeliling ke jalan-jalan, pasar, stasiun, terminal, hingga ke pinggiran kota. Ia juga resah, saat anak bungsunya pulang dengan tangis yang memekakkan telinga, bahkan ia nampak lemas karena sesenggukan dan berlari hingga ke rumah dan mengatakan jika kakaknya sedang berhadapan dengan orang jahat.

Sigit bukannya diam saja, ia juga mencari Ian. Hanya saja tiga hari ini ia tak pergi sebab sang istri tengah sakit juga si bungsu yang mendadak ikut merasakan apa yang sang ibu rasakan. Ia juga sudah melaporkan hal ini ke pihak kepolisian. Namun, entah karena dirinya yang tak beruang ini atau ada alasan lain, polisi seakan tak pernah bergerak untuk mengusut kasus ini.

"Ayah mencarimu hingga rasanya kaki Ayah tak lagi bersatu dengan badan dan kau malah ... kau malah jadi ... pencuri?"

Ctashh

"Akhh ... ampun, Ayah."

"Cukup, cukup kakakmu yang jadi pembangkang. Kami sebagai orang tuamu memang tak mampu memberi materi yang pantas untukmu, tapi tidak begini caranya!"

Sigit terengah, ia lempar ke sembarang arah ikat pinggangnya dan berlalu menuju kamar. Ia meninggalkan tubuh Ian yang melemas dengan segala rasa perih yang perlahan menggerus hatinya hingga hanya tersisa lempengan hati yang kian lama kian aus.

Ian memutuskan untuk tetap berada di rumah, ia tak mau keluar dan bertemu dengan orang-orang itu. Sudah pasti bosnya akan mengerahkan seluruh bawahannya untuk mencarinya karena bos bilang bahwa ia adalah anak emasnya.

Setelah satu minggu ia berdiam diri di rumah, tidak sekolah dan tidak bermain, Sigit makin menunjukkan ketidaksukaannya pada sang anak. Pria berjuluk ayah bagi Ian itu nyatanya menghiraukannya meski ia sudah bolos sekolah selama nyaris dua minggu. Hanya sang ibu yang selalu dengan lembut bertanya mengapa padanya. Tapi, ia terlalu takut. Ia takut jika berkata jujur pada sang ibu, ia takut melukai hati malaikat dalam hidupnya itu, ia hanya akan mengatakan jika ia trauma dengan penculikan itu, ia butuh waktu dan ia pun mengatakan jika ia selalu merasa tak enak badan hingga sang ibu hanya mengamini seluruh alasannya.

Ian memandang miris dirinya, semakin lama tubuhnya yang sudah kurus semakin kurus. Kantung mata hitam itu tercetak jelas di bagian bawah matanya yang nampak digantungi kantung mata yang tebal. Setiap hari ia hanya akan disuguhkan dengan pemandangan yang membuat hatinya teriris.

Sang ayah dengan senyumnya yang dulu ia sukai tak lagi dapat ia raih, tak lagi ia dapatkan senyum itu untuknya. Kini hanya adiknya.

Setiap sang ayah pulang dari mengemban tanggung jawabnya dalam mencari nafkah, pria itu hanya akan menggandeng tangan Joan untuk diajaknya masuk ke dalam rumah, menciumi wajah sang adik dan bertanya tentang apa-apa saja yang bocah itu lakukan seharian.

Ian ingin, ia juga ingin diberi pertanyaan yang sama meskipun ia tak melakukan apapun seharian penuh. Ia hanya akan berdiam diri di dalam kamar sembari meringkuk kala rasa sakit itu datang lagi. Rasa sakit yang amat sangat bagi bocah berusia dua belas tahun seperti dirinya. Tubuh menggigil dengan gigi yang bergemelatuk, seluruh sendi di tubuhnya terasa nyeri dan juga rasa perih hasil sayatannya sendiri.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang