#32

1.2K 179 68
                                        

Kini Gavin memasuki jam istirahatnya. Alih-alih menggunakan waktu untuk beristirahat dari pekerjaannya ataupun menyantap makan siang di kantin rumah sakit seperti biasa, dokter muda itu lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di ruang rawat sang adik yang masih nampak merengut setelah selesai melakukan cuci darah.

"Cuci darahnya 'kan sudah selesai satu jam yang lalu, kenapa masih cemberut?" Gavin mencubit main-main pipi sang adik yang sudah tak setembam dulu, namun masih enak untuk dimainkan, istilahnya sekarang uyelable.

"Tanganku sakit semua, susah digerakin."

Gavin melirik lengan kiri Joan yang berbalut kapas dan plester. Sedikit menyesal karena dulu ia telat untuk mendonorkan ginjalnya pada sang ayah angkat. Jika dulu ia tak telat, kejadiannya tidak akan seperti sekarang. Gavin juga yakin jika dirinya sangat sehat sehingga tak akan berpengaruh pada kesehatannya jika ia yang menjadi pendonor.

"Maaf," cicit Gavin dengan tatapan menyendu.

Joan yang semula mencebik itu kini mengalihkan pandangannya pada sang kakak yang nampak berwajah melas. Ia lantas mengambil tangan kakaknya yang terkulai di sisi tubuhnya.

"Kenapa Kakak minta maaf? Aku justru sangat bersyukur bisa bertemu dengan Kakak di saat seperti ini. Kakak membuatku jadi jagoan meski aku masih tetap cengeng. Setidaknya aku tidak menangis dengan berteriak-teriak karena ketakutan dengan jarum suntik."

Gavin tersenyum kecil kemudian, mengusak rambut adik keduanya yang mulai memanjang dan berniat untuk mengambil mangkuk bubur di atas nakas untuk ia suapkan pada sang adik.

"Ibu belum kembali, Kak?" Gavin menggeleng sembari mengaduk bubur di tangannya. Joan suka jika jagung manis di atas bubur itu bersatu dengan tekstur bubur yang sedikit kasar.

"Belum. Mungkin Ririm ingin jalan-jalan. Anak kecil memang suka bosan jika hanya berdiam diri di dalam ruangan seperti ini."

Joan mengangguk menyetujui. Ia juga tahu bagaimana aktifnya sang adik, bahkan jika Ririn di kurung di ruangan ini saja bocah itu akan berjalan mondar-mandir dari satu sudut ke sudut yang lain.

Joan mulai memakan bubur yang disuapkan oleh sang kakak hingga saat hendak mendapatkan suapan ketiga, tiba-tiba tangan Gavin berhenti menyendok. Ponsel yang berada di saku celananya bergetar tanda ada panggilan yang sedang menunggu untuk dijawab.

"Ya, hallo." Gavin mengangkat panggilan tersebut masih dengan tangan yang memegang mangkuk bubur.

Sedetik setelah orang di seberang sana berucap, Joan berjengit kaget saat mangkuk di tangan kakaknya itu jatuh ke lantai dan menimbulkan bunyi pecahan keramik yang nyaring.

"Kak? Kakak kenapa?" Yoongi merasa khawatir karena Gavin tiba-tiba menangis dan makin khawatir sekaligus heran saat yang lebih tua berlari keluar ruangan tanpa berucap satu patah kata pun.

"Kakak mau kemana? Kakak?!" Nyatanya teriakan Joan tak digubris sama sekali atau lebih tepatnya tak terdengar di telinga Gavin.















.
.
.









Gavin berhenti di sebuah koridor panjang. Kakinya mendadak lemas luar biasa saat di depannya ia melihat sang ibu tengah menangis histeris. Di depannya terdapat sebuah brankar dengan sesosok tubuh yang terbujur dengan kain putih yang menutupi tubuhnya, kecuali bagian wajah yang tersingkap.

"I-ibu," panggil Gavin lirih pada sang ibu yang tengah menelungkupkan tubuhnya di atas tubuh yang terbujur kaku itu.

"Kenapa? Apa yang terjadi pada anakku, kenapa bisa seperti ini heuunggg ...." Gavin tak kuasa melihat sang ibu hancur seperti itu.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang