#10

1.9K 202 87
                                        

"I-ibu." Tari mendadak menghentikan tangisnya, jika tak salah dengar ada suara yang menggumamkan kata ibu.

Ia berbalik, tak sadar jika sudah ada seseorang berjas putih yang berdiri di belakangnya. Mungkin kepalang larut dalam kesedihannya mendapati sang putra tergolek lemah dengan berbagai alat yang menempel pada tubuhnya. Selang infus, masker oksigen, beberapa kabel yang menempel pada dada ringkih sang putra juga sesuatu yang menempel pada telunjuknya menambah kesan betapa tak berdayanya putranya itu.

"Emm, maaf. Saya akan memeriksa kondisi Joan, bisa anda sedikit mundur?"

Tari menyeka air matanya kasar, ia mengangguk mempersilahkan. Dokter muda yang ternyata Gavin itu segera melakukan pemeriksaan terhadap sang adik, meski tak bisa ia akui terang-terangan status tersebut untuk sekarang ini.

"Kapan putraku akan sadar, Dokter?" Melihat Gavin yang sudah merapihkan alat-alat medisnya itu, Tari dengan segera melemparinya dengan pertanyaan.

"Kondisinya masih belum stabil, tadi kondisinya sempat menurun saat menjalani operasi--"

"Operasi? Apa maksud Dokter, operasi apa?" Gavin menelan ludahnya berat, pahit sekali saat ia lakukan dengan menatap wajah memerah penuh air mata milik ibunya.

Belum lagi satu fakta yang ia tahu, ibunya tak mengetahui jika Joan telah mendonorkan ginjalnya pada seseorang.

"Joan baru saja melakukan operasi donor ginjal." Sebagai dokter profesional, ini adalah kali pertama ketidak profresionalannya, ia bahkan tak mau melihat mata keluarga pasiennya saat mengungkapkan kebenaran tentang kondisi pasiennya.

Gavin mungkin merasa tak akan sanggup untuk menyaksikan mata dengan linangan air mata kesedihan itu. Ia yakin jika ia sudah banyak menguras air mata ibunya dulu, dan setelah sekian lama apa dia harus kembali menumpahkan air suci itu dari kedua manik ibunya?

"Bagaimana mungkin? Joan tak mungkin melakukan hal itu. Hahah, lelucon macam apa yang kau sampaikan padaku? Melihat jarum suntik saja ia sudah menangis, dan apa kau bilang, operasi?"

Tari tertawa sumbang, berharap dengan itu kenyataan benar-benar sejalan dengan optimisme yang ia punya.

"Maafkan saya, Bu, tapi Joan memang benar telah melakukan donor ginjal itu."

"Siapa? Siapa yang sudah mengambil ginjal putraku? Dimana otaknya, anak  semuda ini sudah direnggut masa depannya."

Tari bersungut-sungut dalam berucap, ia benar-benar marah. Satu yang ia lupa bahwa satu-satunya yang berpotensi melakukan hal keji pada sang putra adalah suaminya sendiri.

"M-maaf, t-tapi Joan mendonorkan ginjalnya pada ayah saya." Hilang sudah wibawa Gavin sebagai seorang dokter.

Ia sama sekali tak mampu mengangkat tundukan wajahnya, bahkan tubuhnya mematung dengan rasa sesak yang terus menerus menghunus dadanya kala tangan sang ibu tak henti-hentinya mendarat pada tubuhnya. Ia rela, rela menjadi samsak dadakan jika hal itu sedikit mengurangi amarah sang ibu, hanya sedikit, ia tahu itu.

"Kalian jahat, jahat ... kalian merenggut masa depan putraku, kalian orang kaya yang jahat."

Gavin tak bisa lagi menahan untuk tidak merengkuh tubuh bergetar dengan isakan pilu itu. Sedari tadi tangannya gatal tapi rasa takut mendominasi dirinya.

"Maaf, Bu, maafkan aku, maafkan aku tak bisa menjaga adikku." Tak terasa likuid bening itu turut merembes keluar dari kedua manik elang si dokter muda.

Terlambat untuk meralat kata-katanya yang sudah lancang berucap demikian, Gavin segera meruntuki mulutnya dalam hati. Tapi beberapa saat ia sadar jika sang ibu tak memberi respon berarti, wanita itu masih sibuk dengan tangisnya, dengan kekalutannya hingga tubuhnya merosot dalam pelukan eratnya.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang