#18

1.5K 184 61
                                        

Joan seakan kehilangan napas saat sang ayah berjalan dengan langkah pasti dan wajah mengerasnya yang menuju ke arahnya.

"Akh ... Ayah, sakit," lirihnya kala tangan besar sang ayah mencengkeram erat pergelangan tangannya.

Ian yang masih terkejut dengan situasi yang ada hanya mampu segera mengangkat tubuh si bungsu untuk masuk dalam dekapannya. Sedangkan Tari di sana sudah meraung sembari mencoba melepas tangan besar sang suami yang tengah mencengkeram tangan kurus Joan.

"Pulang sekarang! Kau tahu, adikmu masih butuh biaya untuk penyembuhannya, jangan menambahi bebanku!"

"Ayah hentikan!"















"Maaf, a-aku spontan mengucapkan itu, t-tapi anda kau tidak boleh berlaku kasar pada pasienku."

Gavin yang baru saja masuk dan dikagetkan dengan apa yang ada di hadapannya itu seketika berujar lantang hingga seluruh penghuni kamar tersebut melempar atensi padanya. Mungkin heran dengan panggilan yang Gavin sematkan pada Sigit.

Gavin segera beralih mendekati ranjang, meraih tangan Joan yang masih berada dalam genggaman tangan ayahnya.

"Joan sedang sakit, anda tak seharusnya bersikap kasar padanya."

Sigit memandang tak suka pada dokter muda itu, apalagi ketika tangan kurus Joan kini sudah beralih dalam genggaman lembutnya.

"Jangan ikut campur urusan keluargaku, Dokter. Dia anakku dan aku berhak atas dirinya," ucap Sigit tegas yang membuat Gavin menatapnya dalam.

Entah mengapa, Sigit merasa tatapan itu pernah ia lihat sebelumnya. Meski ada gelayar aneh yang menyerang dadanya, sebisa mungkin ia tetap memasang wajah marahnya.

"Aku dokternya dan aku juga berhak atas dirinya saat ia berada dalam pengawasanku. Tanpa mengurangi rasa hormatku, aku minta anda keluar dari ruangan ini atau akan ku panggilkan keamanan karena anda sudah menggangu kenyamanan pasienku."

Merasa tersudutkan, akhirnya Sigit hanya mendecih sesaat sebelum keluar ruangan dengan hati dan pikiran yang kacau. Ia tahu, ada sesuatu pada diri dokter muda itu yang membuat dirinya selalu lemah jika berhadapan dengannya.

"I-ibu takut," Joan bergumam dalam rengkuhan sang ibu, badannya bergetar akibat rasa takut yang tiba-tiba menyerangnya.

Tari hanya mampu memeluk tubuh ringkih sang putra dan bergumam berjuta maaf karena ia yang lemah, lemah karena tak mampu melindungi putranya dari rasa takut yang terus menerus menggerogotinya.

"Joan." Gavin berujar lirih di samping telinga sang adik hingga remaja itu perlahan melepaskan pelukannya dengan sang ibu dan mencoba memperlihatkan wajah merah nan basah itu padanya.

"Sudah, jangan takut. Ingat janji Kakak. Kau tak akan sendirian lagi, Kakak akan selalu ada saat kau merasa takut."

Perlahan tubuhnya sudah lebih tenang kala usapan-usapan pada pucuk kepalanya ia dapat dari yang lebih tua. Tari tersenyum sendu, karena kelemahannya, bahkan putranya pun kini lebih membutuhkan orang lain dari pada dirinya untuk merasa nyaman.

"Bisa tolong bawa Ririn keluar?" pinta Gavin pada Ian yang masih berdiri dengan sang adik dalam gendongannya yang juga terlihat takut.

Ian memandang tajam tepat pada mata elang si dokter muda. Ia masih belum puas dengan jawaban Gavin tadi saat ia menanyakan sesuatu yang mengganjal hatinya selama ini.

Flashback on

"Tolong tatap aku, Dokter Gavin."

Suara rendah nan dalam itu tak pernah Gavin bayangkan akan ditujukan padanya oleh sang adik. Adiknya yang dulu terlihat menggemaskan dengan mata bulatnya.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang