#37

1.3K 169 105
                                    

Sigit nyaris membanting ponsel dalam genggaman. Tari yang tanggap untuk segera menahan sang suami berhasil membuat pria itu hanya mengeluarkan geraman rendah yang sungguh baru kali ini Tari dengar.

Rambut-rambut halus di sekitar lehernya bahkan seketika berdiri serentak. Seakan bisa merasakan kemarahan yang pria di depannya itu keluarkan.

"Ayah!"

Di tengah kemelutnya pikiran Sigit tentang Ririn, Gavin tiba-tiba sudah berada di hadapannya. Membungkuk dengan kedua tangan yang menumpu pada lutut. Bisa Sigit dengar nafasnya yang memburu, mungkin habis berlari.

"Ayah--" ucapannya terpotong kala Gavin merasa tercekik akibat sang ayah yang menarik kerah kemejanya kasar.

"Katakan pada ayah angkatmu, kembalikan Ririn atau aku akan membunuhmu!" Nafasnya turut memburu. Wajah Sigit pun seketika merah padam.

Perkataannya juga mampu membuat anak dan istrinya itu mematung seketika. Terlebih bagi Gavin, tanpa terasa kedua netranya sudah mengeluarkan derai air mata yang terasa pedih di matanya.

Tari tak bisa berdiam diri lagi. Dengan sekuat tenaga yang ia bisa, ia menarik paksa tangan sang suami dari kerah baju anak sulungnya. Hingga saat cengkeramannya terlepas, Gavin seketika terbatuk dengan sisa oksigen yang ia punya.

"Ayah, tenang. A-aku akan berusaha untuk menyelamatkan Ririn."

Gavin lantas mengambil ponsel dari saku celana. Mencari kontak orang yang kini menempati posisi pertama orang yang dibencinya.

"Halo."

Nafas Gavin tercekat, belum juga ia berkata, sang papa di seberang sana bahkan sudah menyampaikan kabar yang lebih buruk lagi. Kabar bahwa tidak cuma Ririn yang berada di tangannya, tapi juga adik lelakinya, Joan.




































.
.
.









"Siapa kalian? Dasar orang-orang jahat. Lepaskan kami!"

Joan masih terus memberontak di dalam mobil meski kedua tangannya sudah diikat ke belakang. Di sampingnya ada sang adik yang masih belum sadarkan diri.

"Tolong! Tolong kami, kami diculik!"

Joan berusaha berteriak dengan menempelkan wajahnya pada kaca jendela. Berharap ada seseorang yang menyelamatkannya.

Tentu hal itu tak mudah. Mobil yang tertutup rapat itu pastilah kedap suara, ditambah lagi dengan kacanya yang gelap. Semakin sulit bagi Joan untuk mendapatkan pertolongan.

"Heh, kau! Jangan berisik, atau mau ku suntik seperti adikmu, huh?!"

Joan seketika diam. Jujur saja jika ia merasa sedikit takut dengan gertakan orang di jok depan itu. Joan melirik ke samping, ternyata adiknya dibius. Pantas saja gadis itu sama sekali tak terusik meski dirinya berteriak sedari tadi.



















.
.
.







Bisma sedikit membanting ponselnya di atas ranjang mewahnya hingga sang istri yang tadinya tertidur kini terbangun karena sedikit terkejut.

"Ada apa?" Sinta perlahan bangkit dari berbaringnya dan mulai beranjak untuk mendekati sang suami.

"Maafkan aku. Aku tak bisa menjaga Gavin untuk tetap berada di sisi kita."

"Apa maksudmu?" Sinta menghentikan gerakan tangannya yang semula mengusap bahu sang suami.

"Gavin tahu jika aku mengancam ayah kandungnya. Semuanya sudah terlanjur, kini anak perempuan dan anak laki-lakinya yang tersisa ada padaku. Kita sudah kehilangan Gavin, maka Sigit juga harus kehilangan anak-anaknya."

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang