Kelopak indah yang menyembunyikan kedua kelereng legamnya itu merasa terusik kala jajaran cahaya berlomba untuk memaksa kelopak itu terbuka. Tubuhnya menggeliat kecil disertai leguhan samar yang membuat satu orang lain yang berada dalam satu ruangan itu tersenyum simpul.
Ia bergerak dari arah jendela menuju ranjang setelah memastikan gorden yang ia kaitkan tak tertutup kembali. Ia terus mengamati wajah mengkerut dengan bibir mengerucut itu.
"Selamat pagi, jagoan."
Joandra, bocah yang masih mengerjap-ngerjapkan matanya pelan itu beralih mengusak kedua matanya yang masih sangat mengantuk.
"Kakak." Gumaman itu sukses membuat hati seorang dokter muda itu menghangat, ia menggerakkan tangannya untuk menarik tangan yang lebih muda agar tak mengusak matanya terlalu kuat.
"Ayo bangun, waktunya sarapan dan minum obat. Tapi sebelum itu, ayo bersihkan badanmu terlebih dulu."
Joan mengangguk malas dan sesaat kemudian masuklah seorang perawat beserta meja dorong yang di atasnya sudah tersedia berbagai alat untuk membersihkan tubuh pasien.
Joan sedikit merintih kala perawat membantu Gavin untuk mengganti perban yang melilit perutnya.
"Sshh ... perih." Tanpa sadar ia mengadu membuat Gavin menghentikan tangannya yang masih setia membersihkan lukanya.
Dokter muda itu memberi kode pada perawat untuk menggantikan tugasnya, sedangkan ia beralih untuk berdiri dan membungkuk tepat di sebelah kepala sang adik.
Joan mematung kala satu kecupan hangat hinggap pada keningnya, ia mendongak untuk mendapati wajah tampan sang dokter yang tengah tersenyum tepat di atas kepalanya. Tangannya terasa penuh kala Gavin menyisipkan jemarinya ke sela-sela jemari tangannya. Joan lantas tersenyum cerah, belum pernah ia merasa diperlakukan seperti ini.
"Kau tidak akan kesakitan sendiri lagi, ada kakak di sini. Kau bisa pegang tangan kakak jika kau merasa sakit."
Joan mengangguk, matanya tanpa sadar meneteskan beberapa cairan bening yang membuat Gavin panik seketika.
"Apakah sakit sekali? Perlu pereda nyeri?" Joan menarik tangan Gavin kala dokter muda itu berniat beranjak untuk mengambil obat pereda nyeri.
"Tidak. Ini hangat, tidak sakit sama sekali. Kakak, terima kasih."
Joan menarik tubuh Gavin untuk ia peluk. Diam-diam Gavin menghela nafas lega. Ia menyuruh perawat yang telah selesai mengganti perban sang adik untuk keluar dan menyisakan mereka berdua.
"Sekarang kau harus makan sarapanmu." Susah payah Joan mencoba mendudukkan dirinya, meski telah dibantu oleh Gavin, tentu saja luka itu sangat mengganggunya, ini bahkan kali pertama ia mencoba untuk duduk.
"Kenapa hanya dilihat, ayo dimakan."
Gavin heran saat Joan hanya memandang jajaran mangkuk yang tersedia di atas bangku kecil yang sudah diletakkan di hadapan bocah itu. Bisa Gavin lihat adiknya hanya menautkan jarinya gelisah.
"Emm, i-itu. Bolehkan aku minta kakak suapi aku?" Joan mengatakannya dengan suara yang amat lirih, seperdetik kemudian ia langsung menunduk takut. Ia takut jika ia kembali mendapat penolakan seperti saat kecil dulu.
Saat ia sakit ketika berumur tujuh tahun dan ia ingin sang kakak, Ian yang tengah berada di dekatnya itu untuk menyuapinya, tapi yang ia dapat hanyalah penolakan dan juga bentakan dan sejak saat itu apapun kondisinya ia hanya akan berusaha untuk memakan makanannya sendiri tanpa bantuan siapapun.
Tak kunjung mendapat jawaban, Joan menyimpulkan jika dokter itu menolak permintaannya.
"Tidak mau, ya? Tidak apa--" ia sedikit terkejut kala satu sendok penuh bubur kini menyentuh ujung bibirnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/214764371-288-k31984.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] J O A N D R A®
FanfictionRemaja tanggung tak tahu apa salahnya yang ia tahu ibunya berkata bahwa dia adalah harta keluarga. Mengapa ayahnya selalu bersikap kasar setelah kepergian sang kakak pun ia tak tahu apa sebabnya. Yang ia yakini hingga saat ini hanyalah ayahnya akan...