#39 [ End ]

2.5K 185 94
                                        

Cerah langit hari ini sepertinya memang diperuntukkan bagi kedua saudara itu untuk menikmati hangatnya sentuhan radiasi dari sang penguasa galaksi dan juga segarnya tarian lembut dari sang angin.

Joan tak pernah membayangkan harinya bisa sebahagia ini. Meski terkadang ia ingat, bagaimana perjalanannya untuk sampai di titik ini, apa saja yang sudah ia korbankan termasuk orang-orang terdekatnya korbankan.

Keduanya sedang berada di taman rumah sakit dan sedang asik memakan es krim yang sedari tadi Joan minta pada sang kakak sebagai ganti rugi untuk kulitnya yang lagi-lagi harus tertusuk dua jarum panjang.

"Enak tidak?"

Joan mengangguk antusias hingga hidung itu tak sengaja terantuk ujung es krim saat ia terlalu cepat menggerakkan kepalanya. Hingga yang lebih tua terkekeh untuk kemudian mengeluarkan sebuah sapu tangan dari dalam saku snellinya.

"Kau itu sudah besar, tapi kenapa selalu menggemaskan di mata Kakak, hum?" Gavin bertanya sembari mengusap pelan hidung mungil sang adik. Sedangkan yang diperlakukan demikian malah mencebikkan bibir tipisnya yang mana justru membuat Gavin semakin ingin mencubit bibir tipis itu.

"Aku lelaki dan aku tampan, tidak menggemaskan," protesnya.

"Hemm ... coba kita tunggu sampai Ririm seusiamu. Kakak yakin jika kau memakai wig panjang, kau akan tampak seperti dia." Gelak tawa menggelegar dari tempat keduanya membuat Joan buru-buru menutup mulut sang kakak karena orang-orang di sekitar mereka yang seketika menoleh dan memperhatikannya.

Setelah es krim habis di tangan keduanya, Gavin beranjak untuk mengambil ponsel di saku celananya, menelpon seseorang untuk memberitahukan bahwa ia ijin sebentar untuk mengantar sang adik pulang ke rumah.











.
.
.






Gavin tak bisa mampir kali ini sebab ia masih punya jam kerja yang harus ia selesaikan di rumah sakit. Berpamitan pada sang ibu dan sang ayah untuk kemudian kembali mengendarai mobilnya menuju rumah sakit.

"Bagaimana tadi cuci darahnya, lancar?"

Joan mengangguk, menyandarkan tubuh pada sang ayah yang tengah duduk di atas sofa dan mengusapi rambutnya.

"Ayah, apa aku bisa sembuh seperti dulu lagi?"

"Tentu saja. Ayah akan bekerja lebih giat lagi agar uang kita segera terkumpul lalu kita akan mencari donor ginjal untukmu. Kau yang sabar, ya?"

Lagi-lagi Joan hanya mengangguk, kembali menelusupkan kepalanya pada dada sang ayah setelah mendongak sebentar.

Memang, Sigit kini sudah mendapat pekerjaan yang lebih baik. Tentu hal itu tak lepas dari campur tangan Gavin. Joan tak mau menerima hadiah berupa rumah dari anak sulungnya itu. Ia juga tak ingin Gavin memberinya banyak harta yang tentu harta tersebut tak lepas dari nama Bisma di belakangnya. Tapi sebagai gantinya, Gavin memaksa sang ayah untuk mau mengelola sebuah bengkel yang sudah Gavin dirikan dengan sebagian uang tabungannya dan bantuan dari Sinta.

Terlarut dalam keheningan, keduanya sedikit berjengit kaget saat sang ibu rumah tangga menaruh sebuah nampan dengan dua cangkir teh untuk suami dan anaknya.

"Yang terpenting sekarang, kau harus menjaga kesehatanmu. Jangan berpikir terlalu keras dan jangan sampai kelelahan." Tari berujar sembari mengatur duduknya di samping sang anak.

"Ibuuuu ...." Mendengar suara si bungsu, Tari lantas kembali beranjak masuk ke dalam kamar.

Melihat Ririm yang baru terbangun dari tidurnya sambil mengusak matanya pelan membuat hati Tari menghangat. Ririn adalah putri satu-satunya yang amat sangat ia sayangi. Penantiannya untuk mendapatkan Ririn juga tak sebentar, nyaris sebelas tahun setelah kelahiran Joan dan akhirnya impiannya untuk mendapat seorang putri terkabul.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang