Benda itu dicabut perlahan dari lengannya, ia mendesah lega saat perasaan puas menginvasi dirinya, juga rasa sakit yang sedari tadi mengganggunya perlahan sirna seiring dengan mengedarnya cairan itu ke seluruh pembuluh darahnya.
"Ssshhh...ahh."
Ian membanting tubuhnya di atas kasur berukuran kecil di dalam flat itu. Tubuhnya sudah lemas luar biasa, hanya satu yang ia syukuri dari kejadian ini, yakni ia yang bisa menyembunyikan hal ini hingga Joan tak menyadarinya.
"Kalau seperti ini terus, bagaimana aku bisa berada di dekatmu. Aku tak mau kau tahu akan keburukan kakakmu yang rusak ini," lirihnya dengan mata sayu yang terus memandangi langit-langit kamar hingga perlahan matanya tertutup sempurna, membawanya jauh ke alam mimpi.
.
.
.Ririn bersenandung riang di ruang tamu bersama boneka jerapahnya yang sudah wangi karena sang ibu mencucinya tadi pagi.
"Kak Jo mau kemana?" tanyanya saat melihat sang kakak berjalan keluar dari kamarnya.
"Mencari ibu, Ririn tahu ibu dimana?"
"Ibu bilang pelgi sebental, Lin disuluh jaga jaga Kak Jo"
Joan tertawa pelan, ia kemudian mengambil duduk di samping sang adik, memeluknya dan mengecup puncak kepalanya.
"Kakak yang akan jaga kamu, 'kan Kak Jo yang laki-laki, Kak Jo juga yang lebih besar."
Joan mengerjapkan matanya saat tiba-tiba Ririn meletakkan tangannya untuk menyentuh keningnya.
"Kak Jo 'kan demam, sudah hus hush sana bobo saja, kalau mau minum nanti Lin ambil ambil buat Kakak."
"Bagaimana kalau Ririn menjaga Kakak di kamar saja? Kita bobo bareng, bagaimana?" tanyanya dengan kedua alisnya yang dinaik-turunkan menggoda.
"Belangkaaattt!"
Saat keduanya hendak berlalu menuju kamar, sebuah suara ketukan pintu pun terdengar.
"Ada tamu, Kak."
"Iya, Kakak juga dengar. Kakak buka pintu dulu, ya."
Joan beranjak menuju pintu, sedangkan Ririn memeluk bonekanya erat dan ikut berjalan perlahan di belakang sang kakak. Ia takut, karena sang ibu tadi berpesan untuk berhati-hati dan tidak berbicara dengan orang yang tidak ia kenal.
Joan membuka pintu itu dan seketika wajahnya berubah menjadi sedikit enggan.
"Ada apa kemari?" tanyanya dengan nada datar.
"Ini." Tamu tersebut tak menjawab dengan gamblang. Ia malah mengulurkan kedua tangannya yang tengah memegang sebuah rantang.
"Apa?" Alis Joan saling bertautan. Gadis di depannya itu tak memberinya penjelasan.
"Permintaan maafku untuk yang tadi." Joan menghela napas. Sebenarnya ia masih kesal dengan Rania yang kini tengah berdiri di hadapannya itu. Tapi, ibunya bilang jika seseorang memberinya sesuatu terlebih lagi orang itu telah ia kenal dengan baik, maka tidak baik untuk menolak pemberiannya.
Tangannya terulur untuk mengambil rantang yang masih menggantung di udara tersebut. Dalam hati, Rania sudah bersorak senang. Ia pikir Joan akan marah dan tak mau menerima pemberiannya.
"Terimakasih, kau boleh pulang." Joan sudah hendak menutup pintu saat Rania lagi-lagi mengeluarkan suara merdunya untuk memanggil namanya.
"Joan, boleh kita bicara sebentar?"
Kini keduanya tengah duduk di teras, sedangkan Ririn pamit untuk masuk ke dalam. Ia bilang film kartun kesukaannya sudah waktunya jam tayang. Tentu saja hal itu semakin Rania maanfaatkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/214764371-288-k31984.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] J O A N D R A®
FanfictionRemaja tanggung tak tahu apa salahnya yang ia tahu ibunya berkata bahwa dia adalah harta keluarga. Mengapa ayahnya selalu bersikap kasar setelah kepergian sang kakak pun ia tak tahu apa sebabnya. Yang ia yakini hingga saat ini hanyalah ayahnya akan...