Agaknya pagi ini sarapan yang tengah tersaji di hadapannya tak lebih menyenangkan dari pada hamparan langit yang sedikit mendung yang tersaji di balik jendela kaca itu.
Joan tak paham betul dengan apa yang dokter Gavin katakan pada sang ibu, yang jelas ia menangkap bahwa ada yang tak baik-baik saja dari tubuhnya.
"Jo, ayo makan sarapanmu, Nak," ujar Tari dengan nada memohon.
Pasalnya, sedari tadi tangannya hanya menggantung di udara dan tak kunjung mendapat sambutan dari mulut mungil yang biasanya antusias terbuka ketika makanan dalam sendok itu mengetuk pelan bibirnya.
Tari lelah, tangannya yang tak sekuat saat muda dulu itu akhirnya terkulai setelah meletakkan sendok di atas mangkuk makanan dan meletakkannya kembali di atas nampan.
Ia tahu putranya sedih, bahkan mungkin rasa takut lebih mendominasinya. Anak itu sedari mendengar percakapannya dengan Gavin beberapa saat lalu seketika menjadi murung. Kepalanya seakan terprogram untuk hanya menoleh ke arah jendela.
Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya untuk menahan agar tangisnya tak pecah. Suara merdu si dokter muda seakan terus saja menginvansi otaknya. Tari sadar, sebanyak dan sekuat apapun ia menangis, takdir tetaplah takdir. Ia hanya akan membuat Joan semakin terpuruk jika ia menampakkan kelemahannya.
"Joan mengalami gagal ginjal. Sebenarnya seseorang masih memungkinkan jika hidup hanya dengan satu ginjal saja, tapi setelah operasi pendonoran itu, kondisi Joandra tak cukup baik dan ginjalnya ternyata tak cukup sehat jika harus bekerja sendirian. Tapi anda jangan khawatir, hal ini belum masuk ke tahap akut atau kronis. Ia masih mempunyai kemungkinan untuk sembuh jika ia benar-benar melakukan pengobatan dan menjaga pola makan."
Tari tak tahu lagi harus melakukan apa. Bahkan Ririn saja masih dalam proses penyembuhan dan masih butuh observasi apakan tumornya sudah hilang seutuhnya atau belum. Ia tak mungkin membicarakan hal ini pada sang suami. Pikirnya, biarlah pria itu mengetahui dengan sendirinya, kalaupun ia memberitahunya, bukannya berusaha untuk menyembuhkan sang putra, Tari takut jika suaminya itu semakin bertindak brutal pada sang anak.
"Apa aku akan mati?"
Tari terkesiap, ia baru sadar jika dirinya sudah lebih dulu menitikkan air mata, dan ia semakin gencar menghapus jejak itu saat melihat Joan yang menatap dalam ke arahnya.
"Jo, kau akan sembuh, Nak. Ibu janji, Ibu janji akan berusaha agar kau sembuh."
"Tapi kakak bilang aku terkena gagal ginjal. Bukankah itu harus diberi ginjal lagi seperti saat ginjalku diambil untuk diberikan pada orang lain? Ayah bilang kita akan mendapat uang yang banyak jika aku memberikan ginjalku pada orang lain. Apa itu artinya jika aku ingin sembuh, aku harus membeli ginjal lagi? Pasti itu mahal 'kan, Bu? Aku tahu kita tidak bisa membelinya dan aku pasti akan mati. Aku tidak mau mati, Bu, tidak mau."
Pecah sudah tangis keduanya. Tari dengan segera menghamburkan diri dan mendekap erat tubuh sang putra. Joan menangis dengan kencang, beruntung ranjang sebelah sedang tidak ada pasien.
"Tidak, Nak, kau masih bisa sembuh. Percaya Ibu, ya?"
Tanpa keduanya ketahui ada sosok yang tengah berdiri di ambang pintu. Ia terkejut saat baru saja memasuki ruangan dan di suguhkan dengan kedua penghuninya tengah saling meraung membagi pedih dengan pelukan posesif.
Ada rasa sesak di sudut hatinya. Kakinya bahkan masih terpaku di atas pijakannya. Tangan yang masih bertengger nyaman pada gagang pintu itupun sedikit gemetar, hingga ia rasa ia perlu menenangkan diri dan memutuskan untuk kembali menutup pintu dengan hati-hati setelah tubuhnya sempurna berbalik.

KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] J O A N D R A®
Hayran KurguRemaja tanggung tak tahu apa salahnya yang ia tahu ibunya berkata bahwa dia adalah harta keluarga. Mengapa ayahnya selalu bersikap kasar setelah kepergian sang kakak pun ia tak tahu apa sebabnya. Yang ia yakini hingga saat ini hanyalah ayahnya akan...