Joan menikmati perjalanannya kali ini. Sejenak ia lupa akan kejadian di sekolah yang harus membuatnya kembali menjadi sosok yang amat lemah di mata orang lain. Kini, ia merasa bebas. Hembusan angin yang sedikit kencang itu menerpa wajahnya. Rambutnya yang mulai memanjang seakan melambai pada dunia, memberitahunya bahwa sang pemilik tengah berbahagia.
Ian melirik dari kaca spion. Senyum tipis mengembang dari sudut bibirnya. Ia tak menyangka dirinya bisa menjadi alasan munculnya wajah bahagia dari sang adik. Kendati Ian sendiri tak pernah mau mengakui jika dirinya juga menginginkan sang adik untuk hidup bahagia.
Hingga tawa kecil dan wajah berbinar itu perlahan memudar tergantikan oleh wajah pucat dengan mimik seperti tengah menahan sesuatu.
"Kak, berhenti." Suaranya dibuat sedikit keras meski nyatanya hanya mirip sebagai bisikan. Ian tentu tak mendengarnya dengan jelas.
"Minggir sebentar, Kak." Joan menarik-narik jaket sang kakak dan mencoba mengeraskan suaranya tept di samping telinga Ian hingga perlahan laju motor itu mulai berkurang.
"Hoek ... ughh hoekk." Dengan segera Joan turun dan berjongkok di pinggir jalan. Ian yang melihat sang adik tengah menguras isi perutnya itupun langsung menurunkan standar motornya dan segera turut berjongkok di samping tubuh Joan.
"Hei ... kenapa lagi kau, huh?" Meski nadanya seperti tengah kesal, nyatanya tangannya turut serta untuk memijit tengkuk sang adik yang masih terus berusaha mengeluarkan isi perutnya.
"Rasanya mual sekali. Hoek." Sekitar satu menit sudah Joan menguras isi perutnya hingga benar-benar tak ada lagi yang bisa ia keluarkan.
Ian bisa melihat cairan kuning pekat di atas tanah berumput itu dan jujur saja hal itu membuatnya khawatir.
"Kau habis makan apa? Jangan makan sembarangan, sudah tahu tubuhmu lemah." Ian hendak membantu Joan untuk bangkit. Namun, belum sempurna tubuhnya menegak, tubuh Joan sedikit limbung hingga nyaris terjatuh.
"Aish, menyusahkan saja." Ian menuntun Joan untuk duduk di atas sebuah batu yang terletak tak jauh dari tempatnya. Ia mengedarkan pandangannya dan mendapati sebuah warung kecil di seberang jalan.
"Tunggu disini, jangan kemana-mana." Ian berlari kecil untuk menyeberangi jalan menuju warung tersebut.
Dalam kesakitannya, Joan masih sempat tersenyum. Ia melihat bagaimana kakaknya yang terlihat khawatir padanya meski kata-kata tajam tak pernah tertinggal keluar dari mulutnya. Joan sepertinya sedikit bersyukur dengan adanya sakit ini. Ia jadi tak lagi meragukan bahwa sebenarnya Ian itu sangat menyayanginya. Yang menjadi pertanyaan terbesarnya adalah mengapa sang kakak terlihat begitu membencinya.
"Kau bawa obat tidak?" Ian membuka sebuah botol air mineral dan menyodorkannya pada Joan. Joan kembali tersenyum seraya mengangguk.
"Ada di tas." Ian membuka tas ransel milik sang adik. Hatinya sedikit tercubit saat melihat obat-obatan yang ia temukan. Ia tak pernah membayangkan jika adiknya akan mengonsumsi barang seperti itu.
Setelah meminum obatnya dan beristirahat selama beberapa saat, Joan merasa tubuhnya kembali segar meski hanya sedikit. Setidaknya kini ia bisa berdiri sendiri tanpa bantuan sang kakak.
.
.
.Sigit melakukan aktivitasnya seperti biasa. Mengepel lantai koridor dan beberapa ruangan. Entah mengapa hari ini ia tak fokus mengerjakan pekerjaannya. Mungkin karena ia baru sembuh dari sakit, atau karena--
"Kau mengganggu pikiranku dokter."
--Gavin yang selama beberapa hari ini terus berkeliaran dalam pikirannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] J O A N D R A®
FanfictionRemaja tanggung tak tahu apa salahnya yang ia tahu ibunya berkata bahwa dia adalah harta keluarga. Mengapa ayahnya selalu bersikap kasar setelah kepergian sang kakak pun ia tak tahu apa sebabnya. Yang ia yakini hingga saat ini hanyalah ayahnya akan...