#11

1.7K 198 133
                                        

Matanya kian memberat seiring dengan gerakan tangannya yang terus bergerak untuk mengusap lengan yang masih begitu nyaman terkulai diatas kasur dengan sprei berwarna putih polos itu.

Tari rasa dirinya amat mengantuk saat ini meski baru tiga jam lalu ia sadar dari pingsannya. Lulabi kecil yang terus tersemat dalam tiap tarikan nafasnya itu seakan tak hanya  membuai sang anak tapi juga dirinya, hingga sesuatu membuat matanya tertarik paksa untuk terjaga.

"Tidak, tolong aku." Lirihan serupa bisikan angin itu membuat wanita empat anak itu membelalakkan matanya tatkala kembali ia temui sudut mata sang putra kembali berair.

"Jo, sayang bangun, Nak, kenapa menangis lagi?" Tari tak bisa untuk tak ikut menangis, putranya bergerak gelisah meski kedua manik kucing itu belum bersedia untuk terbuka.

"S-sakitt ... jangan ...." Tari meruntuki dirinya yang lupa dengan keberadaan sebuah tombol di atas ranjang. Ia dengan brutalnya menekan tombol itu dan kembali menggenggam tangan dingin sang anak.

Sedih dan bahagia kini Tari rasakan secara bersamaan. Tubuhnya sepenuhnya meluruh di atas sofa kala mendengar suara sang putra yang sudah sepenuhnya sadar namun masih dalam proses pemeriksaan.

"Ibu." Tari tertatih untuk melangkah menuju ranjang dimana sang putra dibaringkan. Ia lagi-lagi tak mampu membendung tangis saat dilihatnya dahi itu mengerut menahan sakit.

"Sakit sekali bu, pinggangku," lirihnya yang membuat tangis sang ibu kembali pecah dengan suara yang tak bisa dibilang pelan.

"Maafkan Ibu, Nak, sungguh maafkan wanita yang tak berguna ini."

Sebelah tangan Joan yang terbebas infus itu mencoba meraih tangan sang ibu yang terus menepuk-nepuk keras dadanya sendiri. Joan bahkan sejenak lupa dengan rasa perih nan panas pada pinggang kirinya, itu semua tergantikan dengan rasa sesak kala melihat sang ibu dalam keadaan kacau.

"Bukan salah Ibu, bukan."

Sedangkan seorang dokter muda yang tengah berdiri di belakang Tari itu meremat ujung jas putih kebanggaannya. Rasa sesak turut serta menginvansi dadanya, sakit sekali melihat sang ibu nampak begitu kacau yang secara tak langsung diakibatkan oleh keluarganya sendiri.

"Dokter pinggangku sakit sekali, panas." Keluh Joan untuk yang kedua kali sejak kesadarannya kembali.

Tapi kali ini benar-benar sakit, jadi ia tak merengek pada sang ibu seperti tadi, tapi langsung mengatakannya pada sang dokter yang masih betah mematung disana.

"Sebentar, akan aku cek dulu lukamu."

Gavin maju untuk lebih dekat pada tubuh sang adik. Tari tanpa sepatah katapun bergerak mundur untuk memberi ruang pada Gavin, ia masih belum berdamai dengan kenyataan bahwa keluarga Gavin lah yang membuat putranya seperti ini.

Gavin membuka perban yang melilit perut hingga pinggang Joan. Tari menutup matanya karena tak kuasa melihat luka melintang itu kini menghiasi tubuh sang putra.

Joan membelalakkan matanya kala Gavin menyiapkan sesuatu dan mengangkatnya tepat di depan Joan.

"Dokter mau apa? Jangan lakukan itu, aku tidak mau!" Joan teringat saat terakhir kali sebelum ia menutup matanya, seorang dokter menyuntiknya hingga ia hilang kesadaran dan bangun dengan kondisi mengenaskan seperti ini.

"Hanya obat pereda nyeri, jangan takut. Tutup matamu." Joan masih merasa takut meski ia sudah memejamkan matanya erat.

Lengannya tersentak kecil saat sang dokter memasukkan obat itu melalui selang infusnya. Meski tak melihatnya, tentu saja rasa nyeri itu masih terasa.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang