"JOAN!"
Baik Gavin maupun Sigit lari terburu menuju tempat di mana kedua pria itu masih berdiri mematung dengan kedua tangan terangkat. Ririn terus memanggil-manggil sang ayah yang berlari menuju ke arahnya.
Kedua pria tersebut sudah dibekuk oleh polisi dan diseret menuju mobil polisi yang terparkir jauh di belakang sana. Sedangkan, Gavin dan Sigit kini sibuk menepuk-nepuk pipi Joan yang sudah tak sadarkan diri di atas tanah di bibir sungai.
"Kita bawa ke rumah sakit, cepat!" Sigit mengangguk mendengar instruksi dari sang anak.
Gavin lantas dengan segera mengangkat tubuh Joan yang sebelumnya telah ia bebaskan dari jeratan tali.
Sigit yang tengah menggendong Ririn mengikuti langkah si sulung dari belakang. Ia berhenti tepat di samping tubuh istrinya yang bersimpuh di atas tanah. Terlalu terkejut dengan kejadian yang baru saja ia lihat. Sedangkan, di sampingnya ikut jatuh terduduk seorang gadis yang tadi memberikan informasi kepada Sigit tentang keberadaan Joan.
Tadi, Rania terus menggerutu seiring langkahnya yang terus mengayun. Kali ini ia memang memilih untuk jalan kaki dari sekolah menuju rumah. Bukankah ini masih jam sekolah? Jarum pada arlojinya saja menunjuk di antara celah angka 8 dan 9 yang artinya masih sangat pagi untuk dikatakan sebagai jam pulang sekolah. Tapi, gadis itu justru berbalik arah. Jawabnya tak lain karena hari ini ia terlambat masuk ke sekolah.
Bus yang tadi ia tumpangi mengalami pecah ban di jalan dan mengharuskan seluruh penumpang untuk pindah ke armada bus lain jika lewat. Butuh waktu nyaris sepuluh menit untuk menunggu bus selanjutnya melintasi jalur yang sama. Padahal, jika saja tak ada kendala di jalan, ia tetap akan terlambat meski beberapa menit karena dirinya yang bangun kesiangan.
Penjaga gerbang tak mengijinkannya untuk masuk area sekolah sesuai peraturan yang ada. Para siswa hanya diberi toleransi waktu sepuluh menit, lebih dari itu maka siswa tak akan bisa masuk ke sekolah. Dan berakhirlah Rania disini. Berjalan di trotoar dengan tangan menggenggam erat kedua tali ranselnya.
"Sesekali bolos tak apa, lagi pula aku punya alasan untuk ini." Ia mengangkat bahunya tak acuh. Satu ide kemudian muncul di kepalanya.
"Aku main saja ke rumah Joan, aku juga sudah merindukan Ririn."
Tanpa pikir panjang ia percepat langkahnya. Dengan riang dan bibir yang selalu mendendangkan lirik-lirik lagu k-pop kesukaannya, ia terus berjalan.
Rambut panjang yang dikuncir kuda itu bergoyang ke kanan dan ke kiri kala kepalanya ikut bergoyang.
Hingga langkahnya terhenti saat di sampingnya ia melihat sesuatu. Sekilas, ia melihat bayangan Joan di dalam mobil yang baru saja melewatinya. Ia tak yakin, namun wajah yang menempel pada kaca jendela itu benar-benar mengganggu pikirannya.
Sekitar jarak lima puluh meter di depannya terdapat persimpangan jalan dengan lampu lalu lintas berwarna merah yang menyala.
Tanpa menunggu lagi, Rania berlari saat tahu mobil tersebut berhenti. Ia harus memastikan bahwa yang ia lihat benar Joan atau bukan.
Matanya membola saat dirinya sudah sampai di samping mobil tersebut. Itu benar-benar Joan. Yang ia tangkap dari penglihatannya adalah Joan yang tengah menggeliat dengan tangan seseorang yang mencengkram bahunya. Rania tak bisa melihat wajah seseorang tersebut, tapi satu hal yang ia tahu. Joan sedang tidak dalam situasi yang baik.
Rania berniat menggedor pintu mobil tersebut sebelum lampu merah berubah warna menjadi hijau dan mobil dengan segera kembali bergerak.
"Aku harus memastikannya."
Dengan serampangan Rania mengeluarkan ponsel dari dalam saku seragam hingga benda itu nyaris terjatuh. Ia harus menghubungi seseorang untuk menanyakan hal ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] J O A N D R A®
FanfictionRemaja tanggung tak tahu apa salahnya yang ia tahu ibunya berkata bahwa dia adalah harta keluarga. Mengapa ayahnya selalu bersikap kasar setelah kepergian sang kakak pun ia tak tahu apa sebabnya. Yang ia yakini hingga saat ini hanyalah ayahnya akan...