Aku menggeliat kemudian mengejapkan mataku saat ku rasakan ponselku berdering. Ku lihat layar ponsel itu dengan ogah-ogahan.
"Ck, apaan si pagi-pagi ganggu orang tidur," kesalku saat sudah menerima panggilan telepon dari Bian.
Aku sangat tidak suka jika ada orang yang mengusik tidurku, tidak tahu orang sedang capek apa?
"Pagi mata lu udah jam setengah sebelas, neng. Jadi jalan kaga?"
Ku lihat pojok kanan atas ponselku, benarini jam setengah sebelas. Ku kira ini masih jam tujuh, langit di luar sana tampak mendung sepertinya hujan baru saja berhenti. Aku menatap ponsel dengan bingung. Ku kira ajakan Bian malam tadi hanya bercanda saja.
"Ehe, males anjir mau ujan. Nggak jadi ah," kataku sambil memejamkan kembali mataku.
"Nggak! Gue udah siap-siap, elah," kata Bian sebal.
Aku pun mengiyakannya dan segera ke kamar mandi lalu bersiap siap untuk pergi. Daripada Bian terus menelepon dan menerorku.
Seperti biasa aku hanya mengenakan outfit sederhana yaitu kaos hitam oversize dan celana bahan selutut, rambutku ku biarkan terurai. Bukan untuk terlihat cantik tapi sejak tadi aku tak bisa mengkuncirnya dengan rapih. Tak lupa juga karena rambutku yang benar benar kusut. Gembel."Mak minta duitt Aya mau maen," kataku pada ibu yang sedang menyuapi Eca dengan bubur.
Ngomong-ngomong Aya itu adalah nama kecilku karena aku tak bisa menyebut R jadi aku memanggilku diriku sendiri Aya saat masih kecil.
"Duit-duit enak aja. Udah bangun siang malah maen lagi. Cucian piring noh numpuk," balas ibuku seram.
Aku menelan liurku sambil berpikir. Kalau sudah begini tidak akan benar, aku pun memutuskan meminta pada ayahku. Setelah diberi aku langsung keluar dan menelpon Bian. Biar saja piring-piring kotor itu menunggu, paling setelah ini aku dicereweti ibu.
"Heh, dimana?! Jemput dong!" Kataku melalui ponsel.
"Lebay banget aelah biasanya juga jalan sendiri. Udah sini lu cepetan."
Setelah bilang begitu Bian mematikan teleponnya. Aku kuat aku sabar, kapan aku diperlakukan seperti perempuan lain. Oke mungkin ini terdengar seperti pick me girl, tapi ya bagaimana ya, kenyataannya begitu. Biasanya teman-teman perempuan ku yang lain akan di jemput oleh orang yang mengajaknya keluar tanpa perlu diminta. Tapi Bian? Arghhh, sudahlah. Mungkin memang akunya saja yang berlebihan, aku dan Bian ini adalah teman sedangkan teman-teman ku itu pergi dengan pria yang sedang dekat dengan mereka. Tentu takkan bisa disamakan.
Tin tin
Tanpa ku sadari aku berjalan di tengah jalan sedari tadi, aku melepas earphone ku dan meminta maaf kepada pengguna sepeda motor tersebut. Ia menyimpan motornya di pinggir jalan lalu membuka helmnya.
"Kemana? Bareng nggak?" Katanya.
Dia siapa? Aku menyipitkan mataku yang rabun ini. Pria itu berdecak lalu memakai helmnya lagi.
"Gue Raka elah."
Raka? Raka? Aku melangkah mendekat ke arahnya, memperhatikan wajahnya. Raka teman warnetku saat kecil? Bagaimana bocah kerdil hitam itu berubah jadi tinggi dan kulitnya sedikit putih. Hanya sedikit ingat.
Tanpa berpikir lama aku segera menaiki motor Raka dan duduk dengan manis.
Setelah memberi tahu tujuanku kemana Raka langsung menancap gas motornya. Lumayan hehe gausah jalan."Heh, kutil! Kok lu cakepan sekarang?" Tanyaku padanya.
Dia melirikku lewat spion tanpa menjawab pertanyaanku, "Songong dih geli," kesalku.
Tak lama kemudian kami sampai di salah satu rumah makan.
"Tadi lu nanya apa? Nggak kedengeran tadi," katanya.
Pantas, walau dia sudah berubah jadi pria dewasa ternyata sikapnya masih dongo seperti dulu. Menggelikan.
"Malah cengengesan dih," ucap Raka.
Aku mengabaikannya dan berterima kasih tanpa menjawab pertanyaannya barusan. Memang agak tak tahu diri sih tapi ya sudahlah. Aku pergi menghampiri Bian yang sudah ada di dalam rumah makan tersebut.
Setelah memesan makanan aku pun duduk di depan Bian yang sedang meminum air sodanya.
"Jadi?" Kataku memulai percakapan.
"Jadi apaan?"
Aku mengernyitkan dahiku, kok malah nanya balik, "Ya lu ajak gue ke sini mau apaan pea?!" Kesalku.
Bian tertawa tak jelas, "Lu tau yang bikin gue takut darah?" Katanya sambil menghela napas. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Mana aku tahu, aku saja belum lama mengenalnya, dia kira aku cenayang apa.
"Waktu gue enam tahun, kakak perempuan gue keguguran dan itu gegara gue. Gue nyuruh dia ngambilin maenan pesawat gue yang ada di atas lemari. Waktu itu dia lagi hamil tua dan dia jatoh, emang nggak terlalu tinggi sih jatohnya tapi itu sukses bikin dia pendarahan. Gue yang panik dan nggak ngerti apa-apa cuma nangis liatnya, dia nyuruh gue telepon abang ipar gue. Terus abang balik dan bawa kita ke rumah sakit, kakak gue kehilangan banyak darah. Dokter bilang janin yang ada di dalem rahim kakak gue udah meninggal, syukurnya kakak gue bisa selamat walau sempet susah nyari donor yang pas," jelas Bian panjang lebar.
Aku yang mendengarnya ikut sedih, Bian menunduk seolah menahan kesedihannya. Aku mengusap usap punggungnya yang lemah itu sambil terus menenangkannya. Sejujurnya aku tak siap mendengar cerita tragisnya. Bukan karena apa-apa. Aku tidak tahu cara meresponnya tolong.... Aku harus apa? Mana kemarin aku jahilin dia lagi. Aku ingin banyak bertanya tapi tak enak. Lagian kenapa Bian tiba-tiba cerita masalah sensitif begini sih.
"Sampe sekarang gue masih merasa bersalah, Ra. Orang tua dan abang gue udah bilang ke gue kalo ini bukan salah gue tapi emang udah takdirnya gini. Tapi ya tetep ae rasa bersalah gue ga akan pernah ilang sampe kapanpun." Bahkan gue ga berani natap mata kakak, Lanjut Bian sambil menatapku sayu.
"Maafin gue, Bi." Kataku meminta maaf, jujur saja aku merasa bersalah telah menggodanya dengan darah. Bian tersenyum tipis dan mengangguk.
Bian menatapku sekilas lalu menyeringai, "Makanya lu nggak usah jailin gue lagi, setan!"
Aku yang sedang terjebak di dalam ceritanya sedihnya mendadak geram. Tadi wajahnya terlihat sangat sedih dan sekarang ia malah bercanda bahkan nada bicara meninggi.
"Jadi lu ngejual cerita sedih lu buat ngelindungin diri, hah?" Tuturku.
Bian memutar bola matanya malas lalu menjitak kepalaku seraya berkata, "Ya nggak gitu, pea. Itu cerita asli. Tanpa rekayasa."
"Asli sih asli. Tapi muka lu nggak meyakinkan, jingan," kesalku.
"Ribet, ah. Udah makan dah makan."
Bian nggak jelas. Berdalih saja terus. Aku yang kesal ini pun mengabaikannya dan mulai makan.
"Lagian lu tuh kenapa cerita beginian ke gue sih?" Tanyaku di sela-sela makan.
Bian terdiam sejenak, "Kenapa ya? Pengen aja sih. Biar lu tau juga dan nggak jailin gue," jawabnya santai.
Aku menatapnya malas, terserah Bian saja deh.
Tbc
Vote and comment guys.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Covered
Teen Fiction"Lu itu kayak Jepang tau nggak, sih? Dateng disambut seneng karena dianggap pembebas dari penjajah Belanda tapi nyatanya Jepang juga ngejajah. Nah kalo lu itu dateng ke idup gue, ngelepasin gue dari seseorang dan masalah gue. Tapi akhirnya gue malah...