Dua puluh sembilan

5 0 0
                                    

Setelah kejadian tempo lalu aku menjalani aktivitas ku seperti biasa, kini sudah tidak ada lagi hal mengganjal di hati mau pun pikiranku. Semuanya sirna.

Jangan cemaskan hubungan pertemanan ku. Tadi pagi aku sempat berpapasanom dengan mereka. Aku tahu pasti mereka sedikit merasa tidak enak atau canggung. Terlihat dari cara mereka memandangku, tapi entahlah. Ryan sempat memanggilku dan mengajak ku berbicara namun aku berpura-pura fokus dengan ponselku. Aku juga masih bingung harus bersikap seperti apa.

Hari ini aku di beri tahu seniorku dari ekskul seni bahwa aku di panggil pembina dan ketua ekskul. Perasaan ku tidak enak...

Dan aku tahu sesuatu yang menjengkelkan akan datang. Jika di pikir lagi ini aneh juga. Untuk apa menyuruhku menghadap pembina? Padahal hari ini kan memang jadwal rutin ekskul berlatih.

"Heh, Bian! Enak ae balik. Anter gue ngadep pembina seni oi," ucapku saat melihat Bian keluar dari kelasnya.

Sebenarnya aku sudah menunggu Bian sekitar sepuluh menit sebelum bel bunyi. Aku tidak mau di marahi sendirian.

"Gue udah bantu lu kemaren ya. Hari ini ga ada!" Tolak Bian dengan tegas.

"Elah, Bi. Gue gamau di omelin sendirian. Temenin yaa," pintaku lagi yang lebih terkesan memaksa sih.

"Berani bayar berapa lu? Atau lu punya voucher biar gue mau bantu."

Apa sih Bian? Ga jelas. Aku berdecak sebal mendengar itu.

"Gue duluan. Mau ketemu crush," pamit Bian dan berlalu begitu saja tanpa sempat aku menanyakan siapa crush nya? Dan sejak kapan? Crush yang mana lagi?

Setelah Bian pergi aku juga segera menuju ruang seni dengan malas. Anggota ekskul seni yang lain sudah berkumpul disana.

"Nah, baru dateng nih yang kemaren pake ruangan tapi udahnya ga di kunci," sambut sang pembina lebih tepatnya menyindir sih.

Aku menghampirinya sambil menggaruk tengkuk dan menyengir.

"Masih untung ga ada maling. Harga alat musik mahal, Eyra. Kalo ada apa apa kamu mau ganti?" Lanjut pembina yang diangguki ketua ekskul.

"Maaf pak ga lagi deh. Lagian ga ada yang ilang kan jadi aman pak ehe," ucapku lagi.

Terdengar bisikan anggota lain membicarakan ku. Aku bukannya tidak merasa bersalah, sejujurnya aku merasa bersalah tapi aku lebih suka menyelesaikan masalah dengan santai seperti ini. Untuk apa terlalu serius?

"Lagian kamu ada-ada aja."

"Maaf, pak. Kemaren lagi konflik batin. Lagian kuncinya kan ga dj saya, pak. Gimana mau ngunci?"

"Kata kakak kan jangan di kunci kan?" Ucapku saat mengingat kemarin ketua ekskul bilang jangan kunci pintunya. Katanya biar dia yang menngunci.

"Jadi yang lupa Eyra atau kamu, sih?" Tanya pembina ke ketua ekskul itu.

Pembina ekskul itu menghembuskan nafas berat. Ok ini pertanda dia menyerah. 

"Hukum," kata pembina ekskul ku kepada si ketua lalu pergi keluar dari ruangan.

"Loh kok? Kan yang lupa kaka ini, pak," protesku dengan suara pelan. Susah memang kalau sudah di blacklist guru, tidak salah pun malah disalahkan.

Ku susuri ruangan ini lalu pandanganku terhenti pada baris belakang. Itu Ryan dan yang lain tumben sekali mereka ikut kumpul ekskul.

"Hukuman yang bermanfaat pastinya. Kira kira apa temen- temen?" Kata si ketua sambil bertanya pada yang lain.

Teriakan dari mereka pun terdengar jelas. Ada yang menyuruh bernyanyi, joget dan bla bla

"Duet ama gue ae, celetuk kak Fajri yang sejak tadi duduk di meja paling depan. Oh ya selain dia anggota OSIS, ternyata ia anggota ekskul seni juga. Aku baru tahu sejak bimbingan mental kemarin.

"Duet? Gimana ya? Boleh lah boleh," ucapku dengan enteng.

"Gue nyanyi ama maen gitar," katanya.

"Gue yang nyanyi lah kak, kalo lu nyanyi juga gue ngapain kak?" Tanyaku.

"Joget topeng monyet kan bisa," balasnya sambil mengambil gitar.

Sontak seisi ruangan pun di penuhi tawa mendengar itu. Kurang ajar!

"Ayo dong joget," ledek Kak Fajri sambil memetik senar gitarnya.

"Heh, jangan ngadi- ngadi ya kak! Balik lewat mana lu?" Kesalku.

Mereka kembali tertawa, sebenarnya apa yang lucu sih?

"Lu juga ikutan ya, kak. Yang nyuruh jangab kunci kan lu, kak," ucapku kepada siswi yabg merupakan ketua ekskul ini. Dia yang merasa bersalah pun akhirnya pasrah dan tak banyak protes.

Perdebatan kami pun selesai. Pada akhirnya aku di suruh menyanyikan sebuah lagu untuk orang yang disuka. Hukuman macam apa ini? Untungnya aku sudah tak suka dengan Ryan haha.

Kami pun mulai bernyanyi bersama. Hukuman ini malah terasa menyenangkan. Kami malah merasa seperti sedang di tempat karaoke. Kak Fajri terus saja meledekku hingga membuat seisi ruangan tertawa. Tapi biar saja daripada aku harus bergabung dengan Ryan dan yang lainnya, pasti sangat canggung.

To be continue
Thanks for reading
Vote n comment

(Un)CoveredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang