Tiga puluh enam

5 0 0
                                    

Ini adalah hari kedua dimana aku diharuskan menjadi budak dari Albian sialan. Untung saja hari ini sedikit teduh dari biasanya, jadi lapangan tidak terlalu panas.

"Siniin tangan lu," ucap Bian tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya.

Saat ini kami menuju lapangan setelah Bian mengganti bajunya dengan pakaian Taekwondo. Aku ikut berhenti lalu memberikan tanganku begitu saja.

Bian menerimanya dan menyimpan tanganku di dada nya dengan tangannya yang masih menggenggam tanganku.

Aku terkejut bukan main sambil memalingkan wajah. Bagaimana bisa ia melakukan hal ini dengan santai. Bukankah orang yang melihat akan salah sangka?

"B-bi, lu ngapain sih?"

Hey, Kenapa aku harus terbata-bata seperti inu. Ok ini ada yang salah!

"Gue deg-degan," ucapnya lalu sedikit meremas tanganku yang berada di dadanya.

Dia pikir cuma dia saja? Disini aku juga sama bodoh! Aku mencoba menjauhkan tanganku dari dadanya.

Bian seakan mengerti lalu menjauhkan tanganku dari dadanya. Namun, ia tidak melepaskan pautan tangan kami. Dan sial nya kenapa aku harus ikut berdebar? Ini benar-benar tidak beres.

"Ngeliat mukanya aja bisa bikin gue degdegan, Ra!" Ucap Bian sambil melihat Dila yang sedang melepas sepatunya di lapangan.

Fyi, ketika latihan Taekwondo memang mengharuskan melepaskan sepatu. Dulu juga aku anak beladiri. Namun, sekarang aku terkena sindrom mager hehe... Jadi ya udah..

"Gitu ae degdegan? Sip ga lama lagi nih," saut ku.

"Si bangsat ga gitu juga njir," ucap Bian. Ia melepas genggaman tangannya dariku. Aku merasa lega namun sedikit ada rasa kecewa. Apalagi ini?

"Yaudah good luck," ucapku sambil menepuk bahunya.

Lebih tepatnya seperti mengelap tanganku dengan bajunya.

"Ko lu kek ngelap si?"

"Tangan gue kena keringat lu pas lu pegang tangan gue," jelasku.

Bian mengerutkan dahinya.

"Lah emang gue megang tangan lu?"

Astaga Bian. Ga cuma megang loh, lebih dari itu...Bahkan karena wanita itu, Bian sampai tidak sadar akan apa yang ia lakukan.

Aku tidak menanggapi celotehannya yang satu ini dan memilih pergi. Namun, baru saja tiga langkah, Bian sudah menahan kerah baju belakangku. Kurang ajar!

"Mau kabur lu?"

"Mau solat gue! Ga boleh juga? Sip setan nih."

Kewajiban itu harus tetap dijalankan teman-teman mau senakal dan sebandel apapun kamu. Hehe....

Itu yang dikatakan guru agamaku.

"Jangan lama."

"Kata guru gue solat jangan buru-buru."
Aku tersenyum licik lalu pergi begitu saja dari sana.  Aku pun mulai melaksanakan ibadahku.

"Duh laper juga ni perut," lirihku sambil mengelus perutku. Gembel!

Karena aku tidak mau terlihat seperti gembel aku segera pergi ke kantin dan membeli beberapa makanan. Kali ini bukan mi ayam, perutku sudah sakit karena keseringan menakan mie. Jadi kali ini aku membeli nasi goreng.

Aku melihat sekitar dan menemukan sekelompok orang yang tidak asing.

Aku menemukan Ryan, Rani dan Shila disana. Lalu aku memutuskan bergabung, rasanya sudah agak lama aku tidak bergabung dengan mereka. Tidak ada Nadine. Mereka sudah pernah meminta maaf padaku dan ya aku juga sudah mulai melupakan masalah itu. Lagipula menyimpan dendam itu menyiksa batin. Hanya saja aku tidak terlalu sering berkumpul dengan mereka.

"Huaa, Eyra!! Kangen."

Kalian tahu? Itu Ryan! Ia langsung memeluk tanganku dan menggosokkan kepalanya pada lenganku seperti anak anjing. Gemas.

"Dih ngeri," ucapku sambil memakan nasi goreng milikku.

Untung saja rasa suka untuknya sudah sirna. Mungkin jika ini terjadi pada aku yang dulu bisa gila aku.

"Ra! Ehe anu," panggil Shila dengan wajah menyebalkan. Aku tahu! Pasti ada maunya. Ia pasti akan meminta makananku.

"Ga ada minta minta! Ekskul sono njir. Dah di mulai."

Shila terlihat panik lalu melesat pergi begitu saja. Bagus, makananku selamat.

"Ko belom balik, Ra?" Tanya Rani.

"Noh nunggu si Bianjing."

"Cowo yang suka balik bareng ama lu?" Tanyanya lagi.

Aku mengangguk lalu melanjutkan makanku.

"Cie udah gede sekarang cie," saut Ryan.

Lah kan memang? Siapa bilang aku masih kecil?

"Kenapa? Cemburu lu?"

"Iya. Gimana dong?" Jawabnya yang membuatku terdiam.

"Iya, Ra. Si Ryan tiap malem cerita ama gue malah. Panas liat lu ama dia katanya," timpal Rani. Aku yang tidak peduli ini pun mengabaikannya.

Aku menghabiskan waktu bersama mereka hampir sejam. Hingga akhirnya mereka pamit akan pulang, ok ini saatnya kembali ke sana.

Saat aku lihat ternyata latihan belum selesai juga. Lama sekali heran! Aku memutuskan masuk ke mushola yang terletak sebelahan dengan lapangan. Tidak ada orang di mushola. Aku pun membaringkan tubuhku di sana dengan tas yang aku jadikan bantal. Lebih baik aku menunggu di tempat ini daripada diam di pinggir lapangan.

Aku sedikit mengintip dari mushola, aku hanya penasaran saja apa yang Bian lakukan. Dan terlihat Bian sedang memegang pecing dan Dila sedang melatih tendangan kaki.

Oh ya Pecing sendiri semacam alat untuk target saat berlatih tendangan atau pukulan Intinya alat buat di tendang sama di tonjok
Semoga saja wajah Bian kena tendang sama Dila haha. Tapi setelah aku menunggu cukup lama, tidak terjadi apapun.

Kemudian aku menonton video di sebuah aplikasi sambil berbaring di mushola. Maaf Ya Tuhan harusnya tempat ini dipakai sembahyang, salahkan saja Bian

Saat aku sedang meminta Bian disalah kan oleh Tuhan, tiba-tiba panggilan masuk darinya datang.

"Lu dimana?" Tanya Bian. Ia terdengar sedikit panik.

Aku membuka jendela mushola lalu mengeluarkan kepalaku dan tersenyum.

"Gue disini, liat jendela mushola."

Bian melihatku lalu menarik nafas lega
"Kesini sekarang atau gue tinggal," ucapnya dengan sorot mata tajam.

Tanpa pikir panjang aku berlari menghampiri Bian.

"Panik amat, gue ga kemana-mana. Khawatir lu?" Ledekku.

Ia melirikku sinis, "Biasa aja."

Tidak mengaku! Sudah jelas wajahnya panik tadi. Tapi kalau dipikir-pikir untuk apa ia panik? Mungkin aku hanya terlalu percaya diri. Entahlah

To be continue
Thanks for reading
Vote n comment guys

(Un)CoveredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang