Dua puluh enam

6 0 0
                                    

Hatiku terasa panas dan sesak sejak tadi padahal hari sedang sejuk - sejuknya, ini memuakkan!

Saat ini aku sedang berkumpul di rumah Rani, tentunya dengan Nadine, Ryan dan Ifan. Kalau Shila sih pergi bareng Reza pastinya. Saat ini kami sedang menonton film dengan beberapa cemilan tersedia di atas meja.

Dan kalian tahu apa yang membuatku kesal? Nadine. Bagaimana bisa ia memberikan perhatian nya kepada Ryan? Ya walau hanya perhatian kecil tapi tetap saja... Itu mengganggu.

Lihat saja tingkahnya saat ini, ia mengolesi masker kepada wajah Ryan dengan riang. Ya ya aku tahu aku tidak mengerti masalah perawatan dan lainnya. Tapi apakah sulit menghargai perasaan orang? Aku juga tidak mau menegur mereka, takut merusak suasana.

Aku terus mengunyah keripik dengan wajah kesal dan sialnya tak ada yang peduli. Aku memutuskan untuk pulang sebelum aku benar- benar terbakar. Aku meminjam ponsel Ryan untuk menyalakan hotspot karena aku tidak mempunyai paket internet.

Setelah terhubung segera ku hubungi Albian untuk menjemput dan mengantarku pulang. Sudah jelas Bian tidak mau, tapi aku kan punya ancaman untuknya yaitu tugas. Walau kesannya aku seperti cewek murah yang pergi dengan banyak pria tapi bodo amatlah. Ryan saja dekat-dekat dengan orang lain yang katanya hanya teman. Berarti aku juga boleh.

Setelah selesai aku hendak mematikan hotspot pada ponselnya. Namun tak sengaja aku membuka aplikasi chatting.

Disana terdapat salah satu grup yang membuatku tertarik bernama "Ini Sirkel". Aku yang penasaran pun membuka room chat grup itu, tidak sopan memang. Grup itu berisi nomor Nadine, Ryan, Ifan, dan Rani. Membuat grup chatting tanpa aku ya? Untuk apa? Shila juga tidak ada di grup itu.

Rasa penasaranku begitu besar hingga akhirnya aku scroll pesan-pesan yang ada di grup itu sampai ujung atas. Grup di buat beberapa minggu lalu.Dengan teliti ku baca pesan yang di kirimkan mereka.

Deg

Rasanya sesak. Aku menarik nafas panjang dan tersenyum naas setelah membaca beberapa pesan. Ok ini sudah cukup, lelucon berengsek apa lagi ini Tuhan? Segera ku kembalikkan ponsel itu dan pamit pulang.

"Tungguin aku anter," tahan Ryan dengan masker yang mulai mengering di wajahnya.

"Gosah, gue di jemput. Urus dulu ae tu masker lu biar makin cakep," ucapku santai namun penuh penekanan.

Aku berlalu begitu saja dan menuju gang sekolah. Bian menunggu ku di sana berhubung rumah Rani memang terletak di gang yang sama dengan sekolah dan Bian juga baru saja pulang ekskul. Pas sekali, bukan kebetulan sih karena aku tahu jadwal Bian makanya aku berani meminta jemput.

"Bi," panggil ku.

Bian menoleh dan menatapku, hujan baru saja reda namun rasa dingin yang dibuatnya maish tertinggal. Kaki ku lemas, jika aku tidak memegang tembok di samping ku mungkin aku sudah terduduk basah di jalanan yang becek.

"Udah tau?" Tanya nya.

Tidak seperti biasanya saat ku mendengar suara nya yang sedikit berat itu membuatku tenang. Aku mengangguk lalu menaiki motornya. Aku tidak banyak bicara, entah kenapa aku merasa Bian tahu semuanya.

Bian menjalankan motornya menuju rumahku, selama perjalanan kami hanya saling diam. Mungkin Bian tahu ini bukan saatnya bertanya, suasana dan pikiranku sedang panas. Pikiranku saat ini hanya fokus kepada kejadian tadi.

"Lu tau semuanya, ya? Kenaoa ga bilang gue?" Tanyaku dengan suara pelan.

Kami telah sampai di depan rumahku, aku turun dari motornya, Bian melepas helm nya. Ia menatap lurus ke depan.

"Ga tega..." Jawabnya tanpa menoleh.

Mendengar jawabannya aku hanya diam, apa sebegitu mirisnya aku? Apa hanya aku yang baru tahu mengenai ini semua? Apa hanya aku yang dipermainkan? Dan Bian... aku tidak mengerti bagaimana orang ini bisa tahu semuanya.

"Teus lu mau gimana sekarang?" Tanya nya.

Aku terdiam dan berpikir sebentar lalu menjawab,

"Gue tau apa yang harus gue lakuin. Lu ga perlu khawatir," jawabku sambil menunduk

"Dih gayanye... lagi siapa juga yang khawatirin lu, Ra? Udah ga usah pasang muka kek orang belom makan seminggu. Ga usah so soan galau juga. Ga pantes. Udah kek kanebo gue lu," ucap Bian lalu mengelap wajahku dengan kanebo basah yang baru saja ia pakai mengelap jok motornya yang basah.

Sialan.

"Lu mau pake AWM atau Ak3?" Kesalku.

"Sks ae sks," tantangnya.

Aku mendelik sebal, melihat wajahnya saja membuat hormon penghasil rasa benciku meningkat.

"Dahlah gue mau jalan ama doi, lu ganggu ae sih orang mo bucin juga," ucap Bian.

Aku terdiam. Dekat dengan siapa lagi dia? Dasar

"Sono dah..." Usirku.
"Makasih, Bi," tambahku dengan suara pelan yang kemungkinan besarnya ia tidak mendengar itu karena ia sudah lebih dulu melajukan motornya.

Aku harus berterima kasih kan? Walau ia seperti tidak ikhlas mengantarku tapi pada akhirnya ia mengantarku sampai rumah. Bahkan ia menunda jadwal kencannya. Ia baik...

To be continue
Thanks for reading
Vote n comment

(Un)CoveredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang