Enam

12 1 0
                                    

"Sekian dari saya sampai jumpa minggu depan. Dan yang piket tolong bawakan bukunya ke meja saya ya," ucap guru Bahasa Indonesia yang baru saja mengakhiri pembelajaran.

Aku bergegas keluar kelas dengan langkah cepat, hari ini merupakan jadwal piketku dan aku belum piket. Rasanya malas ke ruang guru, ada beberapa tugas yang belum aku selesaikan, jika berpapasan dengan mereka pasti mereka akan menagihnya.

"Eh, Ra mau kemana? Bawa tuh," celetuk seseorang dari belakang.

Aku berbalik dan mengahadap orang itu, siapa lagi kalau bukan Ramadan alias Rama sang ketua kelas. Aku berdecak sebal dan mengambil buku-buku itu. Aku malas di tegur guru di kantor tuhannn

"Shilllll bantuin gue napa!" Suruhku pada Shila yang sedang berdiri di depan kelas.

"Tak na gue udah di jemput cowok gue, wle."

Sialan Shila, ngapel saja terus  Dengan langkah malas aku menuju ruang guru untuk meletakkan buku buku tadi, untungnya tidak ada guru yang menegur dan menagih tugasku yang belum tuntas, dewi keberuntungan sedang mengasihani aku sepertinya. Setelah selesai aku berjalan menuju gerbang dan melewati lapangan, aku melirik sosok yang membuatku naik pitam akhir-akhir ini, di sana tampak Bian sedang berlatih Taekwondo.

"RAAAAAAAAA BALIK BARENG. SINI DULU BENTAR!!" Teriak seseorang dari pinggir lapangan. Tidak itu bukan Bian, itu Rani dan yang lainnya.

Aku tersenyum dan berlari kecil menghampiri mereka.

"Eh-eh nggak usah KSR yok males gue," kata Ryan.

KSR adalah salah satu ekstrakulikuler di sekolahku dan merupakan singkatan dari Kelompok Seni Remaja. Aku, Ryan, Rani, Nadine, Ifan dan Shila tergabung anggota KSR padahal kami tidak memiliki jiwa seni tapi entah mengapa bisa bergabung di sana. Ya sejak awal aku memang tidak berniat kumpul ekskul sih, jadi ya sudah.

Kami pun memutuskan untuk diam di pinggir lapangan sambil berbincang-bincang dan bolos ekskul. Salahkan saja Ryan yang mengajak bolos. Di tengah perbincangan kami tiba-tiba bola basket datang dari arah kanan dan mengenai tangan Ryan hingga membuat ia mengaduh kesakitan. Bukannya menolong atau memberi simpati kami malah tertawa terbahak-bahak kala melihat wajah kaget Ryan.

"SAKIT ASUUUUU!" Teriak Ryan sambil melempar bola basketnya. Salah satu anggota tim basket itu pun meminta maaf pada Ryan dengan wajah tidak enak.

"Aaaa, sakit Ra.... " adu Ryan padaku sambil menyodorkan tengahnya yang nampak memerah itu dengan nada manja dan raut imut. Menggemaskan sekali ya tuhan... Makhluk apa ini..

"So imut idihhh," Cibirku, aku tahu apa yang aku ucapkan bertolak belakang dengan apa yang aku pikirkan. Ryan memang sangat menggemaskan tapi aku terlalu gengsi untuk mengakuinya secara lisan.

"Au tuh untung lu demen ya, Ra," timpal Rani yang sukses membuatku mematung. Ku rasakan jantungku mulai berdetak kencang, pipiku juga terasa memanas.

"Pura-pura nggak denger ni ye," tambah Nadine dengan wajah mengejeknya. Aku hanya menaikkan sebelah alisku. Entah mengapa aku merasa Nadine tidak menyukaiku, begitu pun aku kepadanya. Kurang srek. Caranya berbicara selalu saja sinis padaku, aneh.

"Kalo demen mah bilang ae ye, nggak?" Kata Rani lagi.

Apa-apaan ini? Mengapa jadi begini, aku melirik Ryan yang sedang melihatku juga dengan wajah merah yang menurutku lucu itu.

"Keliatan bege lu demen ama Ryan," Sahut Ifan.

Ok aku mulai tidak nyaman dengan situasi yang menyudutkanku ini. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh lapangan dan berhenti pada sosok yang sedang berjalan ke arahku itu. Biannnn syukurlah penyelamat. Keluarkan aku dari situasi canggung ini....

"Ra, bagi minum. Aus," ucapnya lalu mengambil botol minumku yang tersimpan di pinggir kanan tas ranselku lalu membawanya ke tengah lapangan.

"Balikin cok punya mamak gue itu!" Teriakku tak terima, Bian hanya mengacungkan jempolnya. Aku tidak mau di omeli untuk kedua kalinya karena menghilangkan botol plastik berharga milik ibu. Aku ingat betul saat pertama kali menghilangkan botol plastik dengan harga yang fantastis bagi kami masyarakat menengah ke bawah, ibu bahkan sampai mendiamkan ku beberapa hari.

Aku berbalik dan melihat teman temanku menatapku ganas dengan wajah penuh tanda tanya. Mereka kepo, aku tahu itu.

"ANJERRR RA iTU SAPA?"

"CAKEP WEH CAKEP."

"COWOK LU? EH NGGAK MUNGKIN MAU YE KAN AMA MODELAN CEM LU."

Aku memasang wajah datarku dan menjawab pertanyaan mereka satu per satu. Tak heran jika mereka bingung, secara wajahku tidak cantik-cantik amat, kulitku juga tak terlalu putih, kalau kata Ryan sih kurang skincare saja, tapi tetap manis.

"Itu Bian anak IPS tiga," jawabku yang hanya dibalas dengan anggukan mereka.

Setelah beberapa lama berbincang sambil memakan makanan ringan yang ada kami pun memutuskan untuk pulang. Aku membiarkan mereka pulang duluan karena aku ingin mengambil botolku dulu. Aset guys, aku takut namaku di coret dari KK.

"Bi, botol gue!" Kataku pada Bian yang sedang mencuci kakinya.

"Bentar, lu balik bareng gue aja."

Aku pun mengiyakan perkataan Bian kan lumayan irit ongkos angkot ehe. Aku duduk di kursi yang ada di sana tiba-tiba perkataan teman temanku barusan terbesit di kepalaku.

Suka pada Ryan ya? Apa sejelas itu? Ahh sial bahkan aku pun bingung apakah aku memang menyukainya atau tidak. Terkadang aku merasa tidak suka dan ilfeel pada tingkah Ryan. Namun tingkahnya itu membuatku menyukainya di waktu yang sama. Kalau pun benar, darimana mereka tahu. Padahal aku sudah sembunyikan perasaanku mati-matian

"Udah nggak usah dipikirin biarin aja mereka ngomong apa, Ra."

Perkataan Bian menyadarkanku dari lamunanku, ia menepuk-nepuk kepalaku. Aku masih terdiam dengan pikiran-pikiran tersebut. Darimana Bian tahu, kenapa ucapannya relate dengan apa yang aku pikirkan. Apa ia bisa membaca pikiran atau hal-hal semacamnya?

"Gue tadi denger dan gue tau lu nggak nyaman di posisi kek gitu. Lagian cowok tampang cewek kek dia ngapain lu demenin sih?" Kata Bian lagi menjawab kegelisahan di kepalaku. Lagi-lagi Bian seolah tahu apa yang ku pikirkan.

Cowok tampang cewek? Oke ini menggelikan hingga rasanya aku ingin tertawa.

"Thanks, Bi," kataku yang kemudian diangguki Bian. Kami pun bergegas pulang menggunakan motor Bian. Oke ku akui hari ini Bian penyelamat. Tapi aku sadar akan satu hal. Bian adalah seorang cenayang. Lihat, dia tahu segalanya! Padahal aku tak pernah cerita. Bian menyeramkan, aku harus lebih berhati-hati padanya. Jika ia memang benar bisa membaca pikiran kan repot. Semua aibku pasti akan terbongkar dan pasti Bian jadikan bahan ancaman atau bahan ledekan baginya.

To be continue
Thanks for reading
Vote n comment guys

(Un)CoveredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang