Tiga puluh tujuh

4 0 0
                                    

Bian menatapku tajam. Dia kenapa? Apa dia marah karena aku malah pergi ke kantin dan diam di mushola?

"Solat atau bertapa?" Tanyanya.

"Ke kantin. Makan."

Bian mendecih lalu mengambil botol minumanku dari tas lalu meminumnya.

"Maen ambil aja! Sopan lu begitu?" ucapku lalu mengambil botol itu dan memukul lengan Bian dengan botol. Ia terlihat meringis.

Ku simpan botol itu lalu ku raih lengannya. Ada yang aneh, biasanya kalau diserang Bian akan marah lalu membalas. Tapi kali ini ia hanya meringis tanpa perlawanan. Saat aku menggulung lengan bajunya tampak jelas lengan memarnya.

Aku menatap Bian.

"Gue gapapa."

Aku tetap menatapnya. Apa nya yang gapapa? Jelas jelas tangannya memar.

"Gue gapapa, lagian udah biasa," jawabnya.

Aku masih menatapnya dengan penuh tanya.bian mendengus lalu menyentil jidatku dengan tangan satunya.

"Udahan natapnya tar naksir."

Mulai lagi kan dia.
"Tadi gue megangin pecing kan. Terus si Dila nendangnya kurang tinggi. Jadinya kena tangan gue," jelasnya.

Aku terdiam lalu berpikir sejenak. Berarti doaku saat di mushola terkabul? Astaga, aku oun segera menahan tawaku.

"Tawa kenapa lu?"

Aku pun tertawa lepas sedangkan Bian diam dengan kebingungan.

"Tau ga sih, Bi? Tadi kan gue kesel terus gue ngumpat biar lu ke tendang. Eh malah di kabulin ahahaha."

"Bangke bad luck banget gue. Mana tadi pas gue ngasih minuman ke si Dila malah diambil sama Kakel lagi."

Ku abaikan keluhannya itu. Aku lebih tertarik melihat memar Bian yang sepertinya lumayan sakit ini. Terlihat jelas benjolan besar keunguan di lengannya. Dengan perlahan aku tekan benjolan itu dengan telunjukku.

"Sakit, pea!"

"Katanya gapapa, katanya udah biasa," cibirku.

Bian menarik nafas dan sepertinya ia akan ngomel.

"Obatin dulu."

Bian yang awalnya kesal hanya mengangguk lalu menurut begitu saja.

Aku menyiram memarnya dengan air.

"Ko di siram? Lu kira luka basah?"

Sejujurnya aku tak tahu apa yang harus ku lakukan sekarang hehe...

"Biar bersih lah. Yakin gue kaki si Dila kotor," ucapku, benar kan??

Aku pun hanya melihat memarnya yang basah itu, "kenapa diem?"

"Emm anu. Lu kan PMR terus gue harus ngapain? Gue ga tau cara ngobatin orang, weh" jawabku.

Bian memutar bola matanya dan menatapku sinis. "Gini aja udah cukup. Nanti gue urut pas di rumah," jawabnya.

Aku mengangguk mengerti. Aku jadi sedikit merasa bersalah melihatnya terluka seperti ini, tapi tak apalah toh yang nendang bukan aku. Aku ingin mengobatinya juga, tapi daripada sok tahu dan malah salah lebih baik diam kan.

Aku melihat Dila yang sedang berjalan sendirian. Tanpa banyak bicara aku memanggil dan menghampiri nya.

"Oi, yang lagi jalan!"

Dila menoleh dengan wajah bingung.

"Lu mau balik?" Tanyaku dan ia pun mengangguk.

"Si Bian memar gegara tendangan lu noh. Gamau ngapain kek gitu?"

"Ha? Serius kamu?"

Setelah itu Dila berlari ke arah Bian yang sedang duduk di teras mushola.

"Duh, Bian maaf ya. Aku ga sengaja," ucapnya sambil memegang lengan Bian.

"Ah gapapa. Lagian udah biasa, Dil. Itu mah si Eyra emang suka alay aja," ucap Bian sambil menatapku sinis.

Alay apanya? Aku hanya cemas!

"Kalo gitu besok pulang sekolah kita ke tempat urut. Hari ini aku buru-buru. Maaf, yah," ucap Dila lalu pergi.

"Lu ngapain bilang sih? Kalo gue di anggep lemah gimana?"

Salah lagi..

"Liat sisi bae nya. Lu di ajak ke tempat urut bareng dia besok, makasih dikit kek," ucapku dengan malas

Mata Bian kembali berbinar mendengar itu.

"Oh iya bener. Makasih Eyra cantik. Ga sabar dah gue jalan bareng doi," ucap Bian.

"Berisik, ayo! Pengen balik!" Kataku sambil berjalan.

"Dih sensi dih," ledek Bian sambil merangkul pundakku. Apa sih?

"Suka-suka lah! Lepas, ah! Bau keringetan tau ga."

"Mana ada dah pake parfum gue," elak Bian.

Bian melepas rangkulannya lalu mengendus tubuhnya sendiri. Terserah dia saja lah. Aku terlalu lelah meladeni orang ini.

To be continue
Thanks for reading
Vote n comment guys

(Un)CoveredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang