Aku memutar lagu lewat earphone milikku dan menyandarkan kepalaku di kursi mobil. Aku lelah...
Hal yang sama sepertinya dirasakan oleh orang di sampingku. Bian memejamkan matanya. Apa ia sedang tidur ya?
"Ra, kaki gue kerasa," ucap Bian dengan mata yang masih terpejam. Aku memandangi lututnya itu.
"Selonjorin ae. Buat malem ini rela dah gue mangku kaki lu,"
Bian mengangguk lalu mengubah posisinya. Ia menyandarkan tubuhnya di pintu mobil dan meluruskan kakinya dan menaruhnya di atas pahaku. Karena mobil ini lumayan besar jadi kaki Bian pun bisa lurus dengan sempurna walau mentok sih
"Maaf ya gue kakiin," ucap Bian yang ku bakas dengan gumaman. Aku terus memandangi lututnya yang cedera itu. Apakah harus babak belur seperti ini hanya untuk mendapat sebuah medali? Karena penasaran aku pun menenkan lututnya dengan telunjukku. .
"Sakit, Ra," lirihnya. Tunggu.... ini aneh biasanya Bian akan berteriak dan memukulku. Tapi kali ini ia hanya memejamkan matanya dan meringis. Apa ia selelah ini?
"Maaf, gabut abisan," balasku. Aku menyingkapkan celana Bian sampai selutut. Kakinya penuh memar...
"Udah di urut kan, Bi?"
Bian membalasnya dengan anggukan. Aku kembali termenung. Aku bosan, rasanya aku ingin cepat sampai di rumah tapi kemacetan yang terjadi malam ini menghambatku.
"Bi, laper," laporku pada Bian. Sejujurnya tadi pagi aku tidak sarapan. Aku langsung pergi ke sekolah dan ke tempat Bian bertanding. Uangku juga pas-pasan. Bahkan sejak tadi aku hanya meneguk minuman susu yang sisanya dihabiskan Bian.
"Gembel," cibirnya lalu mengambil sebuah kotak dari tasnya. Itu nasi box! Yesss. Ia memberikan nya kepadaku. Aku senang bukan main, huhu akhirnya makan juga.
Aku pun mulai memasukkan beberapa suap makanan itu ke dalam mulutku. Eh tapi... bukannya Bian juga belum makan ya?
"Nih! Ini jatah makan malem lu kan?" ucapku lalu memberikan nasi box tersebut.
"Dih, emang lu udah kenyang, ha? Biasa makan dua porsi juga. Makan ae," jelas Bian.
"Lu harus banyak makan, Bi. Biar memarnya sembuh," ucapku.
"Yakin nih?"
Aku mengangguk dengan ragu. Sebenarnya aku masih lapar. Tapi kasihan Bian. Aku pun segera minum dan berpura-pura tidur. Kalau aku melek bahaya boy. Bisa-bisa aku tergiur makanan tadi. Ayam dan sambelnya sangat enak.
"Maaf ya. Paha kurus lu pasti mati rasa," ucap Bian lalu menyingkirkan kakinya dari pahaku. Kurang ajar! Paha kurus katanya? Huft tahan Eyra. Ingat bahwa kamu masih pura-pura tidur.
Sepertinya Bian sudah kembali ke posisi awal. Apa kakinya tak terasa sakit lagi ya?
"Pak, AC-nya matiin aja. Kesian ni orang nanti kedinginan," pinta Bian.
"Siap mas. Sayang banget ya kayanya mas sama cewenya," celetuk si abang sopir. Apa-apaan? Cewek? Rasanya aku ingin berteriak dan membantah semuanya.
"Haha bukan, Pak. Dia temen saya, tapi ya walau gitu saya tetep sayang sama dia,"
Deg! Aku terdiam. Apa yang baru saja ia katakan Tuhan? Argh sial! Ini tidak baik untuk jantungku. Bian membuatnya bekerja ekstra dengan terus berdegup begitu cepat.
Pikiranku terisi penuh oleh ucapan Bian barusan. Di sela-sela itu semua tiba-tiba musik yang ku putar berhenti. Dan earphone-ku terlepas.
"Jangan keseringan pake ginian. Budek mau lu? Tar ga bisa denger suara merdu gue," bisik orang di sampingku. Apa lagi ini? Astaga rasanya aku merinding mendengar itu. Aku ingin membuka mataku dan memukul kepalanya. Tapi itu tak mungkin, bisa ketahuan nih aksi pura-pura tidurku karena menahan agar tidak tergiur ehehe
"Tidur yang nyenyak. Tapi jangan sampe bablas nanti gue kangen," kata Bian lalu membawa tubuhku bersandar di tubuhnya.
Brengsek! Sebenarnya Bian tahu tidak sih aku sedang tidur? Atau dia sengaja mempermainkanku?
Mana bisa aku tidur jika posisinya begini! Bahkan jantungku terus berdetak cepat seperti sedang maraton. Bian sialannnnn!
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Covered
Teen Fiction"Lu itu kayak Jepang tau nggak, sih? Dateng disambut seneng karena dianggap pembebas dari penjajah Belanda tapi nyatanya Jepang juga ngejajah. Nah kalo lu itu dateng ke idup gue, ngelepasin gue dari seseorang dan masalah gue. Tapi akhirnya gue malah...