Semakin hari aku dan Bian semakin menjauh. Bahkan jarak yang aku buat seakan melebihi batas. Tadinya aku hanya ingin menjauh namun tetap berteman. Namun nyatanya kami berdua bagai orang asing. Untuk saling menyapa pun rasanya berat. Terutama untukku, aku tahu Bian berulang kali mencoba mengajakku bicara lewat sorot mata dan gerak-geriknya.
Jujur aku juga ingin hubungan kami kembali seperti semula tapi ya bagaimana lagi. Gengsi ku mengalahkan segalanya. Bukan hanya gengsi sih, segala perkataan Bian masih berbekas jelas di dalam kepalaku. Yayaya aku akui aku sedikit merindukan Bian jika aku sedang sendirian. Namun begitu melihat wajah bangsatnya hanya rasa kesal dan muak yang terasa. Kalau tidak seperti ini Bian tidak akan berpikir.
Bian kadang juga mengirimi pesan untuk meminta maaf atau hanya sekedar menanyakan kabarku. Saat itu aku berniat membalas pesannya namun saat melihat postingan foto berdua dengan Dila aku mengurungkan niat tersebut. Rasanya mereka semakin dekat sedangkan disini aku semakin jauh.
Ok ok ku akui aku cemburu. Aku tak suka melihat Bian berdekatan dengan Dila, rasanya menjengkelkan dan membuat dada sesak. Sebelumnya sih aku tak tahu apa yang aku rasakan akhir-akhir ini. Jadi aku menceritakan semua yang ku rasakan pada Shila dan ia bilang aku menyukai Bian dan sekarang ini aku sedang cemburu. Dan kali ini aku sedikit mengakuinya. Mungkin benar apa yang Shila katakan.
Cih! Terjadi lagi kan? Kejadian yang sama dengan yang aku alami bersama Ryan juga. Friendzone! Kalau boleh jujur aku membenci diriku sendiri yang dengan mudahnya menyukai teman dekatku. Kan pada akhirnya aku yang membatin juga.
Tapi aku tidak galau-galauan ya. Sekarang ini aku sudah kembali menjadi aku yang ceria ehehe. Kemarin-kemarin sih sempat galau dan aku menyesal Yaallah. Rasanya geli saja sempat menangisi orang yang bahkan tidak lebih dari temanmu.
Ok lupakan, saat ini aku sedang duduk di pinggir lapangan dengan sebelas botol minuman di sampingku. Kali ini bukan untuk menunggu Bian latihan kok tapi untuk menonton pertandingan sepak bola. Oh ya ini sudah akhir semester dan sekolah mengadakan acara class meeting. Kelasku sedang bermain sekarang dan kalian tahu apa yang membuatku kesal? Lawan nya adalah kelas Bian. Tentu saja Bian turun untuk bertanding. Yang membuatku kesal sih bukan Bian yang ikut tanding.... tapi si Dila yang sejak tadi tidak bisa diam. Ia terus saja meneriakan nama Bian guna memberi semangat. Menjengkelkan b
Aku yang kesal pun ikut teriak menyemangati kelasku khususnya si Cahya sih. Belakangan ini aku dekat dengan dia. Bukan dekat dalam hal asmara ya. Tapi karena kami partner untuj lomba.
"AYO CAHYA TEROBOS BODOH! JANGAN MAU KALAH SAMA YANG NOMOR TUJUH," teriakku.
Cahya melirikku dan menggerakkan bibirnya. Tampaknya ia berbicara namun aku tak dapat mendengarnya namun aku tahu sepertinya ia bilang "Bacot!" apalagi kalau bukan seperti itu? Lalu pandanganku beralih ke siswa yang bernomor punggung tujuh itu. Dia Bian! Ia melirikku lalu tersenyum. Dih.... serem
Pertandingan pun selesai dengan skor akhir 4-3 dimenangkan oleh kelas Bian. Haha Cahya payah! Para pemain dari masing-masing kelas pun beristirahat di pinggir lapangan. Aku berdiri membawa botol minuman tadi dan menghampiri pemain kelasku dan beberapa siswa kelasku yang sedang berkumpul.
Aku sengaja melewati kumpulan pemain kelas Bian. Dan benar saja dugaanku. Bian beediei menghadang jalanku lalu berkata,
"Minumannya buat gue kan? Terus ini juga..." Ucapnya lalu mengambil sapu tangan yang aku gantungkan di pundakku.
Aku mendelik melihat kelakuannya. Apa sih? Kenapa tak minta pada Dila? Aku mendecih lalu mengambil kasar sapu tanganku dan peegi begitu saja.
"Nih. Lunas ya su!" Ucapku lalu membagikan minuman itu kepada pemain kelasku.
Cahya mengangguk-angguk sombong lalu mengambil sapu tanganku untuk mengelap keringatnya. Jorok
"Yoi lunas," jawab Cahya lalu melemparkan sapu tangan bekas keringatnya ke wajahku. Sialan!
Oh ngomong-ngomong soal lunas jadi aku tuh termakan omonganku sendiri. Kemarin sesaat sebelum aku mengikuti lomba debat aku dengan percaya dirinya bilang bahwa aku akan mentraktir siswa yang ikut sepak bola jika aku dan Cahya menang. Dan tahunya kamj juara dua. Aku sempat meminta patungan dengan Cahya tapi, "Kan lu yang ngomong. Jadi lu yang traktir. Lagian ngonong seenak jidat, udah tau partnernya gue. Udah pasti menang lah."
Aku tidak membalasnya. Percuma saja melawan Cahya. Capek sendiri.
Dan yang paling senang itu ya si Cahya bajingan ini. Jadi ya mau tak mau aku harus membelikan mereka minuman dan beberapa camilan.
"Muka lu ga usah songong bisa ga?" Kesalku saat melihat Cahya memasang wajah mengejeknya.
"Ga bisa. Puas abisan liat lu sengsara," jawabnya.
"Halah, kita menang debat tu gegara gue ya. Argumen lu aja gue mulu yang backup,* jawabku lalu tertawa.
"Bodo. Yang penting menang plus dapat traktir," balasnya.
"Dahlah panas sial. Gue duluan. Btw tiati kalian tu minuman udah gue suntikin sianida. Siap siap ae boss," candaku lalu meninggalkan para pemain tadi yang terus memakiku dan mengeluarkan umpatannya haha.
Sebelum benar-benar pergi aku melirik Bian yang sedang duduk dipinggir lapangan bersama Dila. Dila sedang mengelap keringat Bian sambil memeluk salah satu lengan Bian. Sedangkan Bian hanya diam dengan wajah datarnya. Haha aku tahu Bian itu tidak suka di sentuh apalagi di peluk seperti itu. Dia kan gampang risih. Itu kata mamahnya hehe... Mamah Bian sempat menceritakan Bian kepadaku saat aku masih sering main ke rumahnya. Eh tunggu untuk apa aku membahas orang ini lagi. Aku mengalihkan pandanganku dan bergidik ngeri.
"Eh, darimana, Ra?" Tegur Dila.
"Biasa ngasih minum bocah-bocah."
"Maksudnya darimana aja? Jarang keliatan."
"Ada aja, sih," jawabku.
"Oh, gitu. Tau ga, sih? Kaki Bian memar tau, Ra,* kata Dila sambil menunjukkan kaki kiri Bian yang sedikit keunguan di bagian tulang kering.
"Seminggu dua minggu juga sembuh itu. Obatin aja sih, Dil," ucapku. Sedari tadi Bian hanya diam melihatku. Aku juga tidak berniat untuk mengobrol dengannya. Jika saja Dila tidak menegur ku duluan maka aku tidak akan berbicara dengannya.
Aku memperhatikan luka Bian yang lumayan besar itu sejenak. Pasti ia kesakitan dan jalannya sedikit pincang. Kasihan sekali... Aku menggelengkan kepalaku saat tersadar, untuk apa aku mencemaskan Bian. Lagian dia sudah tidak butuh aku. Untuk spa memikirkannya lagi.
"Duluan ya, Dil," pamitku pada Dila. Ku lirik Bian yang masih diam sambil menatapku. Aku balas menatapnya datar lalu pergi dari sana
To be continue
Thanks for reading
Vote n comment guys
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Covered
Teen Fiction"Lu itu kayak Jepang tau nggak, sih? Dateng disambut seneng karena dianggap pembebas dari penjajah Belanda tapi nyatanya Jepang juga ngejajah. Nah kalo lu itu dateng ke idup gue, ngelepasin gue dari seseorang dan masalah gue. Tapi akhirnya gue malah...