Author POV
🐾🐾
Matahari telah menampakkan sinarnya sedikit demi sedikit. Melawan kabut hitam yang masih tak rela pergi jauh. Luke dengan semangat bangun dari tempat tidurnya.
Kali ini Luke sangat bersemangat untuk bangun, alarm yang dia stel semalam belum berbunyi. Tapi dia sudah bangun dengan sendirinya. Mungkin ini insting alamiah dari tubuhnya karena tak sabar melihat Jenna lagi.
Luke berjalan santai ke kamar mandi sambil bersiul. Melucuti satu persatu pakaiannya, menyalakan shower dengan mode air hangat. Tubuh luke dibuat relax dan tambah bahagia.Setelah Luke selesai dengan showernya, luke mengeringkan tubuhnya yang terlihat atletis ala-ala anak remaja. Otot yang tak terlalu besar melekat pada lengannya, perut yang terbentuk sixpack tapi tak terlalu besar itu kian memperindah tubuhnya. Luke melilitkan handuk putihnya ke pinggang lalu berjalan keluar menuju kamar.
Rambut yang basah meneteskan air melewati dahinya, hidung, bibir, lalu dada dan perutnya yang bidang. Luke melewati kaca lemarinya dan terhenti, lalu menatap lekat tubuhnya di depan kaca.
"See?? Kamu sangat sempurna Luke". Luke memuja dirinya sendiri di depan kaca.
"Lihat otot ini, wuuaahh". Luke kembali memuji dirinya sambil mengangat kedua lengannya bak model gym. Terlihat menjijikan tapi tidak apa-apa. Lanjutttttkann!!!
Luke membuka lemarinya, lalu mengambil baju seragamnya sesuai ketentuan. Memakai kemeja panjang putih, bawahan kotak-kotak berwarna merah yang senada dengan dasi, dan memakai jas almamater kebanggaan sekolahnya. Yaa meskipun nantinya jas almet itu tak akan luke pakai.
Luke telah siap dengan seragam yang telah menempel lekat ditubuhnya, kemeja putih berlengan panjang yang dia gulung sampai sikutnya, dasi yang belum terpasang sempurna, kemeja yang tak dimasukkan ke dalam celana. Terlihat bad boy, tapi luke menyukainya. Oiyaa tak lupa jas almet yang di selempangkannya di bahu kirinya.
Luke menyemprotkan parfume aroma coklat maskulin yang dia beli sewaktu berlibur ke Paris bersama Dad dan Momnya. Entah kenapa parfume ini menjadi favoritenya walaupun masih banyak parfume bermerk yang berjejer di mejanya. Menurutnya parfume ini membuat hidung setiap orang yang menghirup aromanya ingin terus-terusan berdekatan dengannya. Mungkin Jenna suka juga?.
Luke keluar kamar sambil menyisir rambutnya yang masih basah dengan tangan kanannya. Yaa, Luke lebih suka merapihkan rambutnya menggunakan tangannya sendiri tanpa alat bantu sisir. Terlihat lebih alami saja. Luke turun ke lantai bawah dan menuju ruang makan.
Kosong.
Hanya pelayan yang sibuk menata hidangannya di atas meja. Dimana Dad dan Momnya? Apa masih mengurusi bisnis? Sepi,sungguh sepi seperti ini hampir setiap hari. Coba saja ada adik atau kakak, pasti dia tak akan kesepian seperti ini. Sialnya dia anak tunggal.
"Silahkan makan sarapannya tuan muda." Seorang pelayan menarik bangku untuk luke lalu menuangkan hidangan ke piring.
"Aku mau tuna yang banyak ya Bi Mariam." ucap Luke kepada pelayan tua bernama Mariam. Luke sudah menganggap Bi.Mariam sebagai ibu keduanya. Pasalnya setiap kali Dad dam Mom berbisnis, Bi. Mariam lah yang setia mengurusku sejak kecil.
"Tentu, ini selalu menjadi favoritemu ya dari dulu." Bi mariam mencubit ujung hidung Luke sambil menaruh tuna yang banyak ke piring.
Luke selesai sarapan, diliriknya jam tangan Rolexnya itu, masih ada 2 jam sebelum masuk kelas. Sekelibet ide muncul dalam otaknya. Bagaimana kalau dia jemput Jenna? Lagipula jarak rumahnya tak terlalu jauh dari rumah Luke. Luke mengambil HPnya dari saku celana lalu menelepon ke nomor yang tadi malam Jenna kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenna will you?
Lãng mạn(End✔️) Tuhan telah merencanakan ini semua. Aku percaya semua tentang kita adalah takdir. Namun ketika takdir tak berjalan sesuai dengan apa yang kita mau, akankah kita bisa merubahnya?. Entahlah, hanya Tuhan, Jenna, dan Luke yang tahu. "Tunggu aku...