(10)

62 13 2
                                    


Upacara pemakaman berjalan dan berakhir dengan sakral dan tenang. Para keluarga dan rekan yang ditinggalkan oleh korban mulai bergantian meninggalkan area gereja dan jenazah akan segera dimakamkan disana. Gereja ini bersebelahan dengan area pemakaman.

Entahlah apa yang Mio rasakan saat ini. Ia tidak merasakan perasaan apapun. Baik sedih maupun perasaan cemas lainnya. Sedari mulainya upacara, perasaan sedih itu gugur secara perlahan dan tidak meninggalkan apapun. Tatapannya kosong dan ia hanya bisa menatap jasad kedua orangtuanya tanpa mau mendekat kesana. Seperti sebuah kekosongan perasaan yang nyata.

Mungkin bagi yang melihatnya akan menyaksikan wajah hampa disana. Namun nyatanya, kedua tangan gadis itu tidak berhenti bergetar semenjak tadi dan terus mengeluarkan keringat. Dirinya terus menggigit lidahnya sendiri-tak sadar kalau sudah mulai meninggalkan bekas luka pada ujung lidahnya. Saat ini, bisa dibilang semua perasaannya hilang lantaran ia yang memaksakannya untuk menghilang dengan menahannya sekuat tenaga.

William yang menyadari adanya darah segar mengalir dari bibir Mio segera mengambil sapu tangan dari saku sweaternya. "Mio... Apa yang kau lakukan? Dari bibirmu keluar darah."

Menyadari hal itu, Mio kembali fokus dengan keadaan sekitarnya. Seakan ia kembali ditarik ke dunia yang sebenarnya. Rasa sakit itupun menyerang seiring dengan kembalinya kesadaran.

"Ambil sapu tangan ini. Darahnya tidak mau berhenti mengalir." William terlihat sangat cemas.

Mio mengambil sapu tangan tersebut dan mengelapnya perlahan.

"Bibirmu tidak terluka. Coba buka mulutmu."

Mio menggelengkan kepalanya tanda ia menolak. "Tidak perlu. Bibirku memang tidak terluka. Darah ini berasal dari lidahku."

"Lidah?" William terkejut mendengarnya. Ia juga baru sadar cara bicara Mio menjadi aneh layaknya orang yang cadel. "Kau menggigit lidahmu sendiri?"

Mio mengangguk. Sadar dengan tingkah bodohnya.

"Sebaiknya kita menjauh darisini. Biar aku lihat dulu bagaimana lukanya." William menarik tangan Mio pelan dan membawanya ke sebuah bangku taman dekat dengan gereja dan pemakaman.

William memerintahkan Mio untuk menjulurkan lidahnya dan melihat beberapa titik bekas gigitan di lidah Mio yang cukup dalam dan masih mengeluarkan banyak darah disana. Membuat William yakin gadis ini menggigitnya cukup kencang.

"Tidak parah sih... Tapi kau pasti akan kesulitan berkomunikasi setelah ini."

Mio kembali memasukkan lidahnya. "Maaf." Ucapnya.

"Apa sebegitu kuatnya kau menahannya, Mio? Menahan air matamu dan memaksakan semua perasaan sedih itu menghilang?"

Mio terhenyak sesaat. Bagaimana William tahu?

"Kau mungkin akan bertanya bagaimana aku bisa tahu bukan?" Ujar William. "Singkat saja... Karena kita pernah merasakan hal yang sama. Itulah kenapa aku menghampirimu pagi itu dan mengajakmu keliling kota."

Mio menundukkan kepalanya. Entah dalam kondisi yang seperti ini, apakah Mio bisa disebut beruntung atau tidak, tapi yang jelas ia merasa bersyukur karena di tengah ketidaktahuannya masih ada orang yang berbaik hati padanya. Jika tidak ada William, belum tentu Mio bisa sekuat ini untuk datang ke upacara pemakaman.

"Sepertinya di kamar White ada obat khusus pemulihnya. Sebaiknya kau jangan terlalu banyak bicara dulu, Mio." Pinta William. Ia tanpa sadar menggenggam erat tangan Mio.

"Mio..." Tiba-tiba suara seorang pria mendekati mereka berdua dan Mio melihat orang yang mendekati mereka adalah salah seorang yang ada di saat ia diantarkan ke rumah sakit. Mr. Steven Alan Starphase.

Tales of Lost ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang