"Gar, lu apa-apaan sih di kafe?! Banyak orang yang ngeliatin tau ga?!" teriak gue kesal saat sudah berhasil menarik Gary keluar dari kafe.
Jujur saja gue malu setengah mati karena bikin keributan di kafe tadi. Tapi gue pun tidak bisa menolak Gary di depan banyak orang seperti itu. Lelaki itu punya harga diri yang tinggi, dan kalau gue menjatuhkannya di depan banyak orang, pasti rasanya sakit!
Gue juga tidak mungkin menerima Gary. Mana mungkin gue menerima seseorang yang melamar gue tepat setelah delapan tahun bertemu! Gue bahkan tidak ingat sedikitpun tentang Gary. Siapa tahu kalau dia orang jahat? Kita harus tetap waspada kan???
"Kita mau berantem di pinggir jalan? Di sini lebih banyak yang ngeliatin." tanya Gary sambil melihat ke sekelilingnya.
Aduhhh!
"Ke restoran itu aja. Pesen VIP room." Kata Gary yang sudah menarik tangan gue paksa.
Gue pasrah deh. Daripada buat keributan di pinggir jalan! Bisa-bisa wajah gue muncul di Koran besok pagi!
Setelah memesan makan siang, dan pelayan itu pergi meninggalkan ruangan, gue langsung melempar tatapan marah ke arah Gary.
"Lu apa-apaan sih?!" teriak gue.
"Apanya yang 'apa-apaan'?" tanya Gary tenang.
"Maksud lu melamar gue di kafe tadi apaan? Lu mau bikin gue malu???!" kata gue kesal.
Bisa-bisanya di saat-saat seperti ini Gary malah bertanya balik, seolah-olah tidak ada yang terjadi! Gary bahkan masih sempat-sempatnya menyesap kopi dan terus menatap mata gue. Ugh! Matanya itu...
"Gue serius! Gue ngajak lu nikah itu serius!!!" kata Gary.
"Tapi lu kan udah tau jawabannya! Lagipula, lu Cuma tau gue belum nikah. Bukan berarti gue belum punya pacar kan???!"
"Kalau pacar kan tinggal rebut. Kalau lu udah sah, mana bisa lagi?" kata Gary ringan.
Gue hanya bisa memijat pelipis gue. Susah ya bicara sama orang seperti ini?!
"Alasannya apa lu mau nikah sama gue?!" tanya gue.
Gary diam. Cukup lama sampai akhirnya pelayan datang membawakan makanan. Gary masih diam sampai pelayan itu keluar dan suara pintu terdengar. Gue berdehem, menyadarkan Gary untuk menjawab pertanyaan gue.
"Karena gue disuruh nikah sama nyokap gue dalam waktu dekat. Gue ga punya calon sama sekali." Kata Gary dalam satu tarikan nafas.
Gue langsung melongo. Gary serius???
"Jadi lu ngajak gue nikah main-main?" kata gue sinis.
"Mana mungkin nikah itu main-main! Jelas gue ngajak serius lah!" bantah Gary tidak terima.
Tapi dia mengajak gue menikah karena gue kebetulan ada di kafe itu bersama dia kan? Dia saja memilih pasangannya secara random, mana bisa disebut serius???
"Gue ga sembarangan milih cewek. Gue kenal lu, dan gue pikir mungkin bawa lu ke hadapan nyokap gue, yang selama lima tahun ini cerewet nyuruh gue bawa calon, adalah pilihan yang tepat." Jelas Gary.
Gue masih merasa itu tidak masuk akal!
"Gue ga mau! Bisa-bisanya lu nyuruh gue bohong sama nyokap lu sendiri!" tolak gue.
Gary menghembuskan nafas berat.
"Gue juga ga mau bohongin Mama, tapi gue juga ga tahan kalau setiap hari gue diteror gini mulu. Maaf, lu lupain aja yang tadi." Kata Gary sambil memaksakan senyum ke arah gue.
Ah... mata birunya yang sedari tadi menatap gue tajam dan penuh keyakinan jadi terlihat sendu. Gue jadi merasa bersalah. Tapi, gue juga tidak salah. Gue tidak mau sembarangan nikah!
"Maaf Gar, gue ga bisa bantu lu." Kata gue sungguh-sungguh.
"Ga masalah. Gue juga yang konyol. Hahaha... ayo makan!" ajak Gary.
Akhirnya, suasana tegang yang tadi sempat tercipta langsung hilang. Gary bercerita banyak hal mengenai klien-klien yang dia tangani. Walau gue bingung arah pembicaraan ini, tapi Gary sepertinya memaksakan untuk merubah suasana.
Gary cukup menyenangkan, walau gue masih belum bisa mengingat dia. Tapi gue tahu jelas, kalau dia adalah tipe lelaki yang tidak mungkin bisa ditolak oleh cewek manapun. Dia memang tidak setampan para model ataupun lelaki pecinta olahraga yang mempunyai tubuh serba otot. Tapi Gary punya sesuatu yang membuat orang-orang terpesona sama dia dengan hanya mengobrol atau sekedar bercerita.
Mungkin gue terlalu cepat menilai, tapi gue tidak pernah salah menilai seseorang sampai detik ini.
"Oh well, gue sepertinya harus pergi sekarang. Ada meeting satu jam lagi. Lu ga masalah gue tinggal? Atau mau gue anter dulu? Rumah lu dimana?" tanya Gary yang sudah sibuk memperhatikan jam tangannya.
"Gue pulang sendiri aja. Mending lu cepetan balik, daripada telat." Kata gue yang sudah bersiap dengan tas gue.
"Kalau begitu, hati-hati. Telepon gue kalau udah sampe di rumah biar setidaknya gue tau lu aman." Kata Gary.
Dengan cepat Gary bangkit dari tempat duduknya, meraih tangan gue dan menyelipkan secarik kertas.
"Gue duluan. See you..." kata Gary lalu berjalan keluar dari ruangan ini.
Gue membuka kertas yang Gary kasih. Hm... nomor hpnya ya? Gue hanya bisa tersenyum. Selain menyenangkan, ternyata dia tetap sama seperti lelaki pada umumnya. Playboy.
Akhirnya gue pun keluar dari restoran dan berjalan kaki ke apartemen gue. Tidak jauh, hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit. Hampir saja pintu apartemen gue keburu tertutup, seorang satpam datang menghampiri gue dan memberikan gue sebuket bunga mawar putih.
"Itu tadi ada mas-mas yang dateng nitipin itu buat Neng Merlyn." Kata satpam itu lalu pergi.
Gue segera membuka kartu yang terselip di antara mawar dan dengan cepat membacanya.
Sorry for today. -G-
Astaga. Ini dari ... Gary? Gue hanya bisa geleng-geleng kepala. Ternyata dia tahu tempat tinggal gue? Jangan-jangan dia mengikuti gue sampai rumah. Wah, dia seperti stalker saja.
Setelah meletakkan bunga dalam vas, gue merebahkan diri di sofa. Gue jadi teringat dengan lamaran Gary tadi. Rasanya sudah lama sekali sejak seseorang melamar gue. Kalau tidak salah, itu terjadi tiga tahun yang lalu.
Ah... gue tidak mau mengingat-ingat kejadian itu lagi. Sudah cukup dengan semua sakit hati yang gue rasakan selama ini. Gary adalah orang keenam, tapi bukan berarti gue mau menambahkan Gary ke dalam daftar mantan calon suami gue.
Gue sudah memutuskan untuk menjadi perawan tua saja, iya kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wedding Story
RomanceAnother story dari "I have to be STRONG!" “Kalau gitu, lu mau nikah sama gue ga?” Gary bilang apa? Dia kan Cuma tau gue belum menikah, bukan berarti gue tidak punya pacar kan? Walau kenyataannya gue juga belum punya pacar sekarang ini. Oh, mungkin...