Merlyn POV
Tinggal seminggu lagi, dan gue semakin panic. Bagaimana ini?! Pernikahan gue tinggal seminggu lagi. Gaun pernikahan, gedung, cincin, undangan... semua sudah selesai diurus. Tapi gue masih merasa khawatir. SANGAT KHAWATIR!
"Udah deh. Ga perlu khawatir mulu... Lagian nih ya, si mantan ketua BEM itu kan orangnya lurus. Lu ga perlu takut apa-apa deh!" kata Fanny.
Gue juga tahu kalau Gary orangnya lurus, dia bukan tipe yang suka selingkuh. Tapi itu kan saat kuliah dulu, bahkan di saat dulu gue tidak pernah lihat Gary pacaran! Gue tidak tahu bagaimana dia saat di luar negeri, bahkan kami saja baru bertemu lagi setelah bertahun-tahun. Orang kan bisa saja berubah dalam waktu beberapa bulan, lalu bagaimana dengan Gary yang sudah bertahun-tahun?
"Iya bener! Ga kayak si Alva brengsek!!!" timpal Renata.
Ah Renata...
Ternyata masalahnya sama Alva masih belum selesai sampai detik ini. Padahal Alva sudah menjelaskan berkali-kali kalau dia hanya makan dengan relasi bisnisnya, tapi Renata tetap tidak mau percaya. Renata sendiri beralasan kalau dia melihat Alva sedang menggoda wanita itu, dan dengan tidak tahu malunya Alva mengelus paha wanita itu. Entah bagaimana Renata melihatnya! Gue merasa itu hanya halusinasi Renata saja yang kelewat cemburu.
"Lu masih belum baikan sama Alva?" tanya gue.
"GA AKAN PERNAH! Gue hanya bertahan di rumah itu karena anak gue, bukan karena gue masih cinta sama orang brengsek itu!" kata Renata setengah berteriak.
Tiba-tiba gue mendengar suara gelas pecah dari arah kanan yang berjarak tiga meja dari tempat gue. Gue dan Fanny dapat melihat dengan jelas kalau orang yang ada di sana itu Alva. Renata sengaja???
Dengan segera Alva pergi dari restoran dengan wajah kecewa. Gue masih bisa melihat sosok Alva yang mengusap wajahnya dengan kasar dari jendela restoran. Kalau diperhatikan baik-baik, Alva terlihat lebih kurus. Sebegitu frustasinya kah Alva karena Renata?
"Lu keterlaluan. Lu tau kalau Alva ada di sana kan? Kok lu tega gitu sama Alva?!" maki Fanny.
Gue cukup kaget. Karena selama kami bertiga berteman, Fanny lah orang yang paling tenang. Biasanya yang mempunyai peran sebagai tukang teriak atau memaki itu dipegang oleh Renata. Muka Fanny benar-benar merah padam, bahkan Renata saja sampai menciut di tempat duduknya.
"CEWEK YANG LU LIHAT DI RESTORAN HARI ITU GUE! GUE YANG KETEMU SAMA ALVA!!! DAN DIA GA NGELUS PAHA GUE!"
Jujur, gue kaget setengah mati dengan teriakan Fanny yang begitu menggelegar.
"Tapi kenapa Alva ga bilang aja kalau dia ketemu lu? Emang lu ada urusan apa sama Alva, he?" balas Renata takut-takut.
"ALVA TAU GUE HAMIL DI LUAR NIKAH!!! Dia .. Alva ... suami lu yang bantu gue selama ini! Lu ga tau seberapa frustasi dan malunya gue ketemu lu berdua! Lu berdua selalu sibuk dan gue... gue sendirian!" teriak Fanny histeris.
Para pelanggan restoran terus menatap ke arah meja kami. Jujur saja, gue syok mendengar pernyataan Fanny. Di antara kami bertiga, memang hanya Renata yang sudah menikah. Gue selalu nyaris menikah, tapi Fanny...
Fanny tidak pernah mengenalkan satu pun pacarnya. Fanny juga tidak pernah membicarakan masalahnya pada kami. Dia yang paling tertutup, dan gue baru sadar sekarang. Ah, sahabat macam apa gue ini?
"Lu... hamil?" tanya gue hati-hati.
Fanny tidak menjawab, tapi dia menangis.
"Lalu... kenapa Alva?" tanya Renata yang sepertinya tidak percaya.
"KARENA SUAMI LU YANG NGEHAJAR SI BRENGSEK YANG MEMPERKOSA GUE! Karena hanya Alva... hanya Alva yang datang di saat gue berteriak minta tolong. Karena hanya Alva yang mergokin gue periksa kandungan gue di rumah sakit. Lu ga tau seberapa besar pengaruh Alva sampai detik ini buat gue! Lu ga tau seberapa tulusnya dia sampai dia ga cerita ke istrinya yang dengan tega nuduh dia sembarangan buat nutupin aib sahabat istrinya!" Teriak Fanny sambil terisak.
Ah... bagaimana mungkin pengaruh Alva begitu besar bagi kami bertiga?
Renata yang bisa mabuk berat karena memergoki Alva selingkuh. Gue yang selalu mengadu dan mendapat nasihat dari Alva. Dan sekarang... Fanny yang mendapat support dari Alva di masa terberat dia.
"Pulang Ren... kejar Alva. Lu tau kebiasaan dia kalau dalam keadaan seperti sekarang kan?" kata gue sambil menepuk bahu Renata pelan.
Dengan ragu, Renata bangkit dari tempat duduknya. Mungkin karena terlalu syok, Renata masih lunglai. Tapi baru melangkahkan kakinya, Renata langsung berbalik dan memeluk Fanny. Meminta maaf sebanyak-banyaknya. Mau tak mau, gue pun ikut memeluk Fanny.
Setelah Renata pergi dengan mobilnya, gue dan Fanny naik ke mobil. Lagipula, mana mungkin kami berlama-lama lagi di restoran itu. Malu sekali!
Tapi ada yang dari tadi mengusik gue... kehamilan Fanny.
"Fan. Lu udah hamil berapa bulan?" tanya gue.
"Gue keguguran..."
Mata gue langsung melotot dan menatap Fanny tidak percaya. Dia keguguran?
"Ehh... Fan... kalau boleh tau, siapa orang yang perkosa lu? Dia masuk penjara?" tanya gue penasaran.
Gue yakin keadaan Fanny sudah baik-baik saja, dan gue akan memaksa dia cerita. Tidak boleh gue biarkan masalah ini berlarut-larut menganggu pikiran gue.
"Engga... dia ga masuk penjara. Cuma.... Yah, nanti deh gue cerita kalau ada Renata. Males banget gue cerita tapi harus gue ulang." Jawab Fanny enteng.
Benar juga sih. Sepertinya gue harus membiarkan masalah itu menetap dan menganggu pikiran gue untuk beberapa hari kemudian.
***
Gue baru saja kembali ke kantor. Baru saja masuk ke ruangan gue... tapi tiba-tiba seseorang mencekal tangan gue.
Plakkkk
Gue benar-benar tidak menyangka ada seorang wanita yang akan menampar gue tiba-tiba seperti itu. Bahkan gue tidak kenal wanita itu sama sekali! Apa wanita ini gila???
Gue bisa melihat matanya berair dan hidungnya kempas kempis. Dia marah besar, dan gue sebaiknya berhati-hati dengan kata-kata gue atau gue tidak akan selamat!
"LU... JANGAN PERNAH LU REBUT DIA DARI GUE! DIA ITU MILIK GUE DAN DIA SELAMANYA AKAN MENJADI MILIK GUEEE!!!" teriak wanita itu.
Miliknya?
"Maksud Anda apa ya?" tanya gue sopan.
"DIA ITU PACAR GUE!!! BAHKAN DIA ITU TUNANGAN GUE!!! ATASAN LU ITU TUNANGAN GUEEEE!!!" teriak wanita itu lagi.
Tunangan? Atasan gue?
Oh no! Gue rasanya ingin sekali berteriak dan menangis sekarang juga. Please, jangan bilang ini seperti saat gue bersama Damian! Please... please... please... jangan bilang kalau wanita ini tunangan Gary dan gue hanya dimanfaatkan untuk membawa wanita ini kembali kepada Gary.
Plakkkk
Satu lagi tamparan yang harus diterima pipi gue, tapi rasa sakitnya tidak sebanding dengan rasa sakit yang tiba-tiba saja menyergap diri gue. Terlebih hati gue!
Wanita itu terus menatap gue tajam, bahkan memaki gue dengan lebih sadis. Gue bisa saja menampar balik wanita ini dan segera mengusirnya keluar dari ruangan gue, bahkan dari kantor ini. Tapi pikiran gue terus melayang, mengetahui kenyataan untuk keenam kalinya, apa gue harus membatalkan pernikahan gue?
Kenapa seolah-olah dunia mempermainkan gue?! Tidak tahukah kalau gue sudah lelah dengan semua drama yang tidak berakhir bahagia? Kenapa sekali lagi gue harus merasakan sakit?!
"ADA APA INI?!" teriak suara yang gue ga asing lagi.
Gary.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wedding Story
RomansaAnother story dari "I have to be STRONG!" “Kalau gitu, lu mau nikah sama gue ga?” Gary bilang apa? Dia kan Cuma tau gue belum menikah, bukan berarti gue tidak punya pacar kan? Walau kenyataannya gue juga belum punya pacar sekarang ini. Oh, mungkin...