Bab 36 : Jakarta

32.5K 1.5K 6
                                    

Merlyn POV

"Maaa... Gerald tadi ketemu sama Papa loh! Waktu Gerald sedang olahraga sama Opa!!!" seru Gerald saat baru saja masuk ke dalam rumah.

"Iyaaaaa! Tadi Gissel juga liyat! Telyus Opa suluh kami menjauh sebental... Eh, tapi telnyata Papa langsung pergi setelahnya! Huuuuhhh..." kata Gissela mencebik kesal.

Gary menemui Papa? Untuk apa? Kenapa harus diam-diam seperti itu? Kenapa malah tidak mampir dan bertamu di rumah?

"Merlyn.." panggil Papa.

"Iya Pa?" sahut gue sambil berjalan mendekat ke arah Papa yang sedang duduk di teras membuka sepatu yang biasa Papa gunakan untuk berlari.

Gue berusaha untuk menatap ke dalam mata Papa, mencari tahu apa yang sejujurnya ingin Papa katakan kepada gue. Tapi nihil! Papa menutup hatinya rapat sekali sampai gue tidak bisa membaca apapun dari matanya. Entah itu terlihat bahagia ataupun sedih, gue pun tidak tahu. Datar...

"Kamu siapkan keperluan kamu dan si kembar. Nanti siang kamu akan kembali ke Jakarta. Tinggalkan saja pakaian dan mainan si kembar. Bawa yang perlu saja." Perintah Papa.

"Maksud Papa? Kenapa tiba-tiba? Papa mengusir Merlyn sama anak-anak Merlyn dari rumah ini?" tanya gue hati-hati.

"Tidak mungkin mengusir putri dan cucu-cucu sendiri. Hanya saja, tempat kamu bukan di sini. Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan kamu bersama Gary. Pergilah Mer... Papa memberikan restu. Nanti siang, supir Gary akan menjemput kamu. Gary sendiri sudah kembali dan menyiapkan segala sesuatu di rumah baru kalian." Kata Papa lalu langsung masuk ke dalam rumah.

Jujur saja, gue ingin sekali memekik riang karena Papa memberikan restunya! Papa merestui hubungan gue dan Gary, dan itu artinya gue bisa berkumpul dengan ayah dari anak-anak gue. Siapa yang tidak akan senang dengan berita itu???

Tapi sebagian hati gue terasa perih. Seakan gue diusir dari rumah ini. Seakan gue sudah tidak dibutuhkan di rumah ini lagi. Ah... rasanya sangat sedih!

Gue membereskan barang-barang yang diperlukan. Memang tidak banyak, tapi cukup merepotkan. Untung saja Mama membantu gue.

"Kamu di Jakarta jangan bikin repot. Kalau butuh apa-apa, jangan sok-sok kuat sendiri. Mama tau kamu itu selalu pura-pura mandiri, padahal kamu harus ingat kalau kamu juga butuh bantuan orang lain! Oh... jangan lupa, kamu selalu perhatikan kedua anak kamu. Jangan kerja terlalu berat sekembalinya ke Jakarta! Ingat baik-baik!" pesan Mama.

Gue mengangguk dan memeluk Mama. Begitu juga Gerald dan Gissel. Bahkan Gerald dan Gissel juga memberikan petuah untuk Mama agar tidak lupa minum obat, tidak lupa makan, tidak boleh berteriak-teriak, dan selanjutnya sampai panjang sekali!

Sedari tadi pagi, gue terus menunggu Papa. Gue juga ingin pamit sama Papa, atau setidaknya mendengar ocehan Papa yang penuh dengan nasihat dan kata-kata dingin tapi penuh sayang. Ah... Bahkan Papa tidak keluar dari kamar sampai waktu keberangkatan.

"Ma.. sampaikan pamit Merlyn pada Papa ya. Kalau ada waktu, Merlyn akan berkunjung. Merlyn pergi dulu ya."

"Hati-hati ya Mer!" kata Mama memeluk gue erat.

"Geraldddd.... Gisseeeeel .... Ayo kita berangkat!"

***

"Va... Lu ngapain barengan gue sama anak-anak pulang? Kok lu ga bareng Gary?" tanya gue bingung saat pesawat baru saja lepas landas.

"Yeee... terus lu gimana? Dibiarin aja tanpa ada yang jaga? Ya ga mungkin lah! Lagian nih ya, gue kan mau ngomong sama lu!" jawab Alva.

Gue mengeryit bingung. Buat apa dijaga-jaga? Gue sudah tiga puluh tiga tahun, dan gue mampu menjaga diri gue sendiri kok! Alva ini ada-ada saja. Lagipula, kenapa juga Alva kalau mau bicara pakai tanya dulu? Bukannya biasa dia langsung bertanya?

"Ada apa sih? Lu kok bikin penasaran gitu?" tanya gue.

"Gue bukan mau ngomong, tapi gue mau marah! Lu tau ga, gara-gara lu pergi seenak jidat, Renata nangis-nangis mulu selama tiga bulan pertama!"

"Hah? Cuma tiga bulan?! Gue temenan sama dia aja udah lama banget, masa dia nangisin gue sebntaran gitu!" Kata gue tidak terima.

"HEH! Lu ga tau seberapa stressnya gue! Cuma tiga bulan aja bikin gila! Udah perusahaan gue lagi sibuk-sibuknya, Renata nyaris bikin rumah gue hancur, belum lagi anak-anak gue yang super bandel! Lu kalau mau kabur, bilang-bilang dong! Biar gue bisa reschedule semua jadwal gue!" omel Alva.

Gue hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ocehan Alva yang terus berlanjut. Sejak kapan dia jadi secerewet ini? Dan juga... Kalau gue bilang-bilang, bukan kabur namanya! Dasar Alva.

Selama dua jam penerbangan, Alva terus saja mengoceh tentang semua yang terjadi selama lima tahun ini. Gue terus diam dan dengan setia mendengarkan. Ternyata gue melewatkan banyak hal! Terutama tentang Fanny yang tadinya ingin memberikan gue kejutan di hari pernikahan gue dengan membawa suaminya! Tak lupa berita tentang Renata dan Fanny yang hamil dan melahirkan berbarengan!

Ah, gue jadi merindukan kedua sahabat usil gue itu.

***

Gerald dan Gissel terus-terusan menggagumi kota Jakarta, kota lain yang bisa mereka lihat selain Bali. Ini memang pertama kalinya gue mengajak kedua anak gue keluar dari Bali. Lagipula, Bali sendiri saja belum selesai mereka kelilingi!

"Woooooaaaahhhh... Gissel! Lihat... itu monasss!!!" teriak Gerald kagum.

"Iyaaaa.... Gelal, itu yang di atasnya emyas loh!!!" seru Gissela.

"Wah Gissel, gimana caranya kita bawa Monas buat Opa dan Oma? Besar banget..."

"Yahh... Padahal udah tellanjyur janji sama Opa dan Oma..."

Gue dan Alva hanya tertawa melihat tingkah si kembar yang begitu excited dengan kota Jakarta. Terutama bagaimana mereka merencanakan membawa monas untuk Opa dan Omanya. Ada-ada saja mereka!

"By the way, Gary harus membayar mahal untuk jasa supir gue ya! Ingetin tuh ... Gila aja, gue pemilik perusahaan malah disuruh nganterin lu bertiga keliling Jakarta sekaligus ke rumah! Tega banget dia." Omel Alva.

"Wow... dan lucu sekali kenapa lu setuju?"

"Demi lu! Inget tuh..." tegas Alva penuh dengan sesal. Tapi tidak berapa lama, Alva tertawa.

***

"Pak supir... bukannya kita mau ke rumah Gary. Kenapa jadi ke gereja? Emang sejak kapan rumah Gary jadi gereja?" tanya gue serius.

Tapi tiba-tiba saja pintu mobil gue terbuka dan gue langsung ditarik keluar oleh Renata dan Fanny. Gue baru saja ingin mengucapkan hai dan memberikan mereka pelukan rindu gue, tapi mereka tanpa henti langsung menyeret gue masuk ke dalam sebuah ruangan.

Gue masih linglung dengan semua yang terjadi, yang jelas dalam waktu hanya beberapa menit sampai satu jam kemudiannya, gue sudah siap dengan gaun pengantin putih panjang, rambut berombak dan sebuket bunga mawar putih di tangan gue.

"Ahhhh... terharunya gue! Lu emang cantik banget Mer... ga ada yang ngalahin!" kata Renata yang terus-terusan menatap ke arah gue.

"Emang! Lu selalu jadi yang paling cantik, Mer!" tambah Fanny.

Tunggu tunggu tunggu... mereka ini tidak menjelaskan apa-apa sampai detik ini! Sebenarnya apa yang terjadi?!

My Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang