Flashback
(Sebelas tahun lalu)
Konyol memang karena gue dan Riki masih duduk di bangku kelas tiga SMA dan masih enam bulan lagi kami lulus. Tapi Riki bilang, lamaran kemarin itu hanyalah formalitas karena dia tidak mau berpisah dengan gue. Ah, betapa gue bersyukur mempunyai pacar seperti dia!
"Cieeee cie cieee... yang mau nikahhhh!!!!" goda Renata.
"Ihh, apaan sih! Ga nikah juga kali! Cuma cincin doang.." kata gue mencubit pinggangnya.
"Auuwww iya iya... terserah apa kata lu dah! By the way, jadi lu udah resmi dong jadi 'someone's special' Riki? Ahhh... cie banget sih!!!" tambah Renata.
"Aissshh.. lu sendiri bukannya sama Alva ga terpisahkan?!" balas gue.
"Malah katanya ya, setelah lulus mereka mau merit lohhh!!!" tambah Fanny.
"Serius? Kok gue ga tau??! Wowwww!!!" kata gue heboh.
Muka Renata langsung memerah. Sontak, gue dan Fanny langsung tertawa heboh dan terus menggodanya. Siapa sih yang tidak mengenal Alva? Seantero sekolah juga tahu, Alva si ketua OSIS yang super galak, keras, ucapannya dingin, menyebalkan, dan tidak menolerir apapun yang melanggar aturan. Alva itu seperti Hitler di sekolah kami!
Ck! Tapi semua itu omong kosong kalau Alva sedang bersama Renata! Gue dan Fanny saja sampai geleng-geleng kepala. Alva jadi makhluk lain kalau bersama Renata! Gue dan Fanny menyebutnya sebagai : JATUH CINTA TERLALU DALAM. Begitulah perasaan Alva ke Renata. Lebih dalam dari jurang manapun yang ada di dunia!
"Ihhh, stop ah! Jangan ngomongin Alva mulu!!!" rengek Renata.
Karena posisi Renata berhadapan dengan gue dan Fanny, jadi Renata tidak sadar kalau Alva sedang berjalan ke arahnya. Alva sendiri memberi isyarat supaya kami tidak memberitahu kedatangannya.
Ah, seru nih mengerjai Renata.
"Ren, tapi kayaknya ya... Alva itu lebih keren ya daripada Riki. Udah ketua OSIS, ganteng, pinter, wow banget ya?" kata gue memancing Renata.
"Heh! Lu itu udah punya Riki! Entar gue bilangin loh ke orangnya!"
Gotcha! Renata terpancing cemburu.
"Bener juga kata lu, Mer. Alva itu wow banget. Coba kalau gue yang sama dia..." tambah Fanny.
Renata semakin melotot mendengar gue dan Fanny yang berakting maksimal.
"Alva ga akan mau sama kalian berdua!" teriak Renata.
"Ehhh... siapa bilang?! Gini-gini, gue sama Alva kan sering bareng. Secara, gue ini sekelas sama dia. Gue juga sekretaris OSIS, terus kalau lu ngambekan, Alva juga ngomongnya sama gue!" kata gue sombong.
Muka Renata sekarang merah padam. Gue bisa melihat Alva yang berdiri di belakang Renata sudah menahan diri setengah mati untuk tidak tertawa.
"Mer, ga usah rese deh!" kata Renata kesal.
"Gue ga rese. Gue Cuma bilang kenyataannya aja! Lagian kayaknya gue suka nih sama Alva. Lu ga apa kan kalau gue deketin Alva?" kata gue.
"Terus Riki gimana?" tanya Fanny.
"Nanti kalau gue udah bosen ya balik lagi ke Riki." Kata gue gampang.
"Bisa juga tuhhh! Lagian, lu sama Alva cocok kok. Sama-sama pinter gitu!" kata Fanny mendukung.
Renata yang sudah tidak tahan langsung berdiri dan menggebrak meja. Syukurlah kami berada di taman, bukan di kantin yang bakal menoleh kaget memandang Renata yang sekarang sudah marah besar.
"ALVA ITU MILIK GUEEE!!!" teriak Renata.
"Gue itu milik siapa???" tanya Alva yang sudah memeluk Renata dari belakang.
Sontak tawa gue dan Fanny langsung pecah seketika melihat kekagetannya Renata. Alva masih terus menggodanya sampai Renata mau tak mau menutup mukanya karena malu. Akhirnya pasangan itu pergi juga. Gue dan Fanny masih terus tertawa sampai tidak sadar seseorang ada di belakang gue. Fanny langsung pamit pergi.
Ah, jangan bilang kalau yang di belakang gue itu...
"Jadi ceritanya kamu mau aku nungguin kamu selesai 'pacaran' sama Alva?"
Gue menoleh dengan ragu dan nyengir. Wah, ternyata tidak hanya Renata yang malu kepergok begini ya.
"Perlu waktu berapa lama 'pacaran' sama Alva?" tanya Riki lagi.
"Hehe, bercanda kali! Lagian Alva mana mau sama aku. Hehe.." kata gue cengegesan.
"Jadi kalau Alva mau, kamu mau pacaran sama dia?!" kata Riki kesal yang sudah duduk di hadapan gue.
Aduh, kenapa jadi begini ya? Ya sudahlah. Ngambek harus dibalas dengan ngambek.
"Jadi kamu mau ngambek? Ya udah, aku juga bisa. Anggap aja yang kemarin itu ga ada." Kata gue pura-pura ngambek sambil memainkan cincin yang ada di jari gue di depan mata Riki.
"Eeh eh eh... aku Cuma bercanda cantikkk! Aku Cuma bercanda..." kata Riki cepat.
Akhirnya kami berdua pun tertawa. Yah, inilah gue dan Riki. Tidak pernah ada ngambekan, bertengkar, kesal, bahkan putus. Hubungan kami benar-benar berjalan mulus! Dan gue harap selanjutnya juga seperti itu...
Tiba-tiba hp Riki berdering. Merusak suasana romantis sore hari ini di taman. Ck! Tapi sepertinya Riki senang sekali menerima telepon itu. Siapa yang menelepon ya?
"Mer, Mama bilang dia mau bicara sama kamu." Kata Riki sambil memberikan hpnya.
WHAT?
"Ha-halo..." jawab gue ragu.
"Nama kamu Merlyn Dewantara kan?" kata seseorang di seberang sana.
"I-iya."
"Segera putus hubungan kamu dengan anak saya. Saya beri kamu waktu satu minggu. Saya tidak sudi anak saya berhubungan serius dengan seorang wanita yang tidak jelas asal usulnya! Ini demi masa depan Riki, anak saya! Kamu pasti mengerti, dan saya harap kamu mengetahui bagaimana hubungan harmonis antara saya dan anak saya. Selamat sore."
Tut tut tut
Well, inilah yang gue takutkan dari dulu. Penghinaan sekaligus penolakan.
"Bagaimana Mer? Apa yang Mama bilang?" tanya Riki antusias.
"Rik, thanks for your love, but..."
Flashback end
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wedding Story
RomanceAnother story dari "I have to be STRONG!" “Kalau gitu, lu mau nikah sama gue ga?” Gary bilang apa? Dia kan Cuma tau gue belum menikah, bukan berarti gue tidak punya pacar kan? Walau kenyataannya gue juga belum punya pacar sekarang ini. Oh, mungkin...