Bab 22 : Reinald (2)

30.7K 1.3K 6
                                    

Flashback

(tujuh tahun yang lalu)

"Maaf kalau saya lancang, tapi apa kamu benar-benar pacarnya Rei? Bukan pacar pura-pura atau sewaan kan?" tanya ibunya Rei jitu.

Kenapa Rei tidak bilang sih kalau ibunya itu seperti paranormal? Rei sendiri sedari tadi hanya terus diam. Rasanya ini lebih sulit daripada ujian lisan dengan lima orang dosen penguji. Padahal yang ada di hadapan gue dan Rei hanya orang tua Rei! Dan yang lebih mendominasi hanya ibunya Rei. Sedangkan ayahnya hanya terus mengamati.

Ugh!

Tidak mungkin gue mundur sekarang.

"Bagaimana saya harus membuktikan kepada tante kalau saya ini pacar aslinya Rei?" tanya gue sopan.

"Kalian bahkan tidak terlihat mesra sama sekali. Hanya pada saat datang saja kalian terlihat mesra." Kata ibunya Rei.

Gue hanya tersenyum, sedangkan Rei yang duduk di samping gue hanya diam. Gue mencoba meraih tangannya yang ada di bawah meja dan mengenggamnya. Ternyata, dosen gue ini hanya jago mengajar dan memberi tugas. Kalau berhubungan dengan orang tuanya, dia langsung ciut!

Jujur saja, gue merasa sedikit tersengat aliran listrik saat menautkan jari-jari gue dan Rei. Ini pertama kalinya gue mengenggam tangan dosen gue sendiri!

"Maaf tante, saya tidak mungkin berlaku kurang ajar di hadapan tante dan om. Saya dan Rei sendiri masih muda, takut kelewatan dalam mengartikan kata mesra." Jawab gue bijaksana.

"Jadi... Rei belum pernah menyentuh kamu sama sekali?" tanya ibunya Rei hati-hati.

"Maaa...." protes Rei.

"Loh, emang ada yang salah dengan pertanyaan Mama?"

Ya salah tante!

"Mama kan hanya takut kalau kamu gay! Lagian masa selama dua puluh lima tahun usia kamu, ga pernah satu cewekpun kamu bawa ke rumah! Orang tua mana yang ga kuatir?!" tambah ibunya Rei.

"Ma! Rei mana mungkin 'gay'?!" teriak Rei tidak tahan.

Astaga ini pasti akan menjadi masalah yang panjang. Entah kenapa, sekarang giliran gue yang diam mengamati ibu dan anak ini adu mulut. Gue dan ayahnya Rei yang duduk bersebrangan hanya bisa menikmati teh dan saling menatap.

Seakan dari matanya, ayahnya Rei bertanya kepada gue. Aneh bukan? Tapi itu yang gue rasakan.

'Kamu benar-benar pacar anak saya?'

Gue menggeleng. Sepertinya gue tidak akan bisa berbohong dengan pria paruh baya yang masih terlihat tampan dengan setelan kantornya ini. Gue merasa ayahnya Rei sia membaca pikiran orang! Kalau gue berbohong, ya sama saja sia-sia.

'Kamu menyukai anak saya?'

Apa gue menyukai Rei, dosen gue sendiri? Ya! Tentu saja. Rei itu dosen yang menyenangkan. Rei tidak mengajar secara monoton, tapi secara kreatif dia menjelaskan setiap hal dengan baik. Dia tidak sembarangan saat memberikan nilai, juga selalu bersikap penuh perhatian terhadap berbagai kritik kepadanya.

Tapi kalau menyangkut perasaan pribadi, gue sedikit ragu. Memang banyak orang yang mengucapkan kata 'suka' ke Rei. Tapi gue tahu dengan pasti, Rei tidak menerima mereka karena mereka hanya mengatakan 'suka' karena terpesona. Bukan karena apa adanya diri Rei.

Menjadi asisten dosen selama lebih dari setahun ini, gue sadar kalau gue sedikit banyak mengetahui kebiasaan Rei. Walau hanya hal-hal sepele, tapi cukup penting. Seperti awalnya saat gue membuat kopi terlalu kental, atau gue datang terlambat untuk bertemu. Rei hanya akan diam dan menatap gue tajam sampai gue tahu sendiri apa yang dia mau, dan itu mempengaruhi moodnya seharian!

My Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang