"Za, jangan lupa siapkan kamera, ya, nanti acara studi tour ini jadikan laporan utama."
"Baik, Ustad."
Besok, aku dan teman-teman kru majalah akan pergi studi tour. Kami akan pergi ke salah satu kantor penerbitan koran terbesar di Indonesia dan ke salah satu stasiun televisi terkemuka di provinsiku.
Rasanya senang tak terkira, akhirnya, impian kami jadi nyata. Mengemban ilmu jurnalistik pada ahlinya dan menambah pengalaman.
Para anggota studi tour ini lumayan banyak. Bukan hanya dari madrasah aliyah, ada juga utusan dari madrasah tsanawiyah, SMK, kampus, bahkan dari ponpes. Mungkin karena ini studo tour jurnalistik pertama kami, jadi pihak yayasan mengerahkan semua perwakilan lembaga.
Setidaknya, aku bisa sedikit melupakan segala hal tentang Risky. Aku sudah benar-benar mantap untuk menghilangkannya dalam hidupku. Akhirnya, aku menyembuhkan luka ini sendirian.
Jam sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi, kami sudah bersiap di depan gerbang ponpes. Bus yang akan kami naiki pun sudah siap. Mesinnya sudah di nyalakan, tandanya kami akan segera berangkat.
Aku berjalan tergesa menuju bus sambil menarik tangan Wina.
"Duh, pelan-pelan, Za. Yaelah, ini anak! Kagak bakalan ditinggal juga!"
"Sstttt! Kamu diem dulu!"
"Apa an sih!"
Wina masih saja menggerutu, hingga kami sudah duduk di kursi bus, baru lah aku melepas tangannya.
"Tadi itu, ada Hamdan berdiri di dekat gerbang. Aku ngeliat dia, dan untung saja dia nggak ngeliat aku, makanya aku lari aja sebelum di lihat," ucapku sambil melepas jaket.
"Oalah, pantesan lagakmu kayak orang salah tingkah, ahahaha!" ejek Wina dengan suara tawa yang amat keras.
Aku melotot, buru-buru kututup mulutnya.
"Wina! Nggak usah keras-keras juga suaranya!" ujarku dengan suara pelan namun penuh tekanan.
Wina terkekeh, aku memalingkan wajah menghadap jendela.
"Tuh, kamu bebas liatin dia dari atas sini. Dia nggak akan sadar kalau kamu liatin, kok," ucap Wina sambil menujuk ke luar jendela, tepat di dekat gerbang.
Nampak seorang lelaki yang tengah berdiri dan melipat tangannya. Mengenakan kaus jersey salah satu tim sepak bola dan sarung hitam. Nampak senyum terukir di wajahnya. Aku hanya menghela nafas pelan, semua ini percuma.
_________________________________Aku dan teman-teman berjalan perlahan di pelataran gedung itu. Sebuah gedung dengan nama "Graha Pena" di depannya, memiliki pepohohan rimbun di sepanjang jalan. Dan yang membuatku terheran-heran sampai saat ini adalah dari mana asalnya angin yang bertiup sangat kencang di area gedung itu. Pasalnya, angin disini menyerupai angin laut, bahkan aku sampai kesulitan berjalan.
Begitu kami memasuki gedung, kami langsung menuju ruangan yang besar dan lebar. Ruangan ini biasa di gunakan rapat oleh para wartawan dan tim redaksi. Sebuah ruangan yang keren dan modern dengan desain yang kekinian.
Nampak dua kakak redaksi yang memberi materi pada kami. Kami menyimak dengan seksama untuk mempersiapkan pertanyaan yang akan di utarakan nantinya.
Tiba-tiba, saat aku tengah asyik menyimak, Wina mencolek lenganku.
"Za, kamu diliatin terus sama dia," ucap Wina sambil menunjuk seorang cowok yang duduk tepat di depanku. Yang ditunjuk sontak memalingkan wajah.
"Ha? Siapa?" tanyaku sambil melirik cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Playboy [END]
Romance[Tamat Versi Wattpad✔] ~Khanza dan Risky "Jangan pernah berbohong atas nama cinta, karena yang namanya kebohongan, tidak pernah terlihat baik. " -Khanza- "Katakan, sebenarnya kamu menyukaiku atau tidak?" "Apa maksudmu?" "Sudahlah, katakan saja. Aku...