Part 36

153 18 0
                                    

"Oh, ibu," celetuk Risky seraya agak berlari untuk meraih tangan ibuku dan menciumnya.

Aku terperangah dan tak percaya dengan tindakannya. Kemudian Jamil mengikutinya untuk bersalaman denga ibuku.

"Yang mana namanya Risky?" tanya ibuku

Aku mengernyitkan dahi, kenapa ibu bisa tahu? padahal aku belum mengenalkan mereka berdua.

"Kulo (saya), Bu," jawab Risky sambil mengagguk canggung.

Kemudian aku menggiring mereka masuk dan mempersilakan duduk. Mereka berdua duduk terpisah. Di ruang tamuku ada tiga kursi, ada kursi panjang, agak panjang dan kursi kecil. Jamil duduk di kursi kecil, Risky duduk di kursi agak panjang dan ibu di kursi panjang.

Jantungku berdebar hebat, apa yang akan ibu tanyakan pada mereka? khususnya Risky? tak kuhiraukan, buru-buru aku menuju dapur untuk mengambil minuman dan cemilan. Begitu sampai di ruang tamu, ku letakkan bawaanku di atas meja.

"Nggak usah buru-buru, ngobrol aja," ujar Ibu seraya beranjak meninggalkan kami.

"Loh, ibu mau kemana?" tanyaku

"Ibu di belakang aja"

Aku diam dan kemudian duduk di tempat ibu duduk tadi. Suasana hening tercipta hampir sepuluh menit karena kami sama-sama canggung untuk memulai percakapan.

"Eh, dimakan-dimakan, aku nggak buat cemilan spesial, adanya ini," kataku akhirnya

"Iya, nggak papa," jawab Risky seraya meraih sebatang wafer coklat.

"Um ... kalian ini, darimana?" tanyaku

"Dari rumah Jamil, terus kesini," jawab Risky

"Oh, Jamil orang sini, toh,"

Jamil hanya mengangguk dan tersenyum canggung, kulihat ekspresi malu-malu pada wajahnya.

"Oh, ini buat kamu" Risky menyerahkan kantong plastik belanja kecil berwarna ungu padaku.

Ragu-ragu aku menerimanya, "a--apa ini?"

"Yang kataku itu," jawab Risky seraya tersenyum manis

"Wah, repot-repot aja. Matur nuwun (terima kasih), ya," ujarku sambil meraih bingkisan itu.

"Aku nggak sempat bungkus pake kertas kado, um ... bukannya ga sempat, sih. Tapi nggak bisa, hehehe" Risky tertawa seraya menggaruk kepalanya.

"Aku juga nggak buat surat, bingung mau nulis apa," imbuhnya.

Aku mengernyitkan dahi. Bingung dengan ulah salah tingkahnya yang membuatku ingin melemparinya dengan bantal, hahaha. Tapi itu hanya anganku karena aku harus menjaga image sekarang.

"Nggak, papa. Ini udah banyak banget," kataku.

"Kamu tahu kenapa?" tanyanya

"Kenapa?"

"Soalnya bisa sedekat ini sama kamu, membuatku tak bisa berkata-kata," ujar Risky berusaha nge-gombal.

Aku tertawa, "terus kalo nggak bisa berkata-kata, dari tadi itu bukannya kamu udah berkata-kata? kalau bukan berkata-kata, apa dong?"

"Ngobrol, kayak kata ibu tadi," kekehnya

Aku tertawa lepas begitu juga Risky. Perasaan canggung dan dag-dig-dug ku lenyap sudah entah kemana. Aku memandangnya hingga aku menyadari satu hal. Aku dan Risky sama-sama memakai baju warna abu-abu! Ya ampun, terjadi lagi!

"Eh, kalo di rumah orang jangan main hape mulu!" tegur Risky pada Jamil.

Memang sedari tadi Jamil terus memegang ponsel hingga menutupi wajahnya. Risky mengintip apa yang tengah Jamil lihat di ponsel, kemudian tertawa. Risky berbisik dengan Jamil dan Jamil mengangguk. Aku tak paham apa maksud mereka.

Jodohku Playboy [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang