Tok! Tok! Tok!
Pemuda yang memegang kepala dengan mata menyipit itu membukakan pintu, tampak seorang perempuan mungil berambut pirang berdiri di depannya sambil memegang buku di tangan.
"Lo, kok, gak ngangkat telepon gue, sih, Bren? Gue minta jemput juga," omelnya mendengkus.
Pemuda yang ia panggil Bren meringis. "Pala gue sakit, Yan! Gak tau tadi mimpi aneh, ketiduran ...," gumamnya, dan melihat Bren yang kembali meringis seakan kesakitan membuat wajah marah itu melihat khawatir.
"Hah? Lo abis ngapain, dah? Pagi tadi lo sehat-sehat aja, deh!" Gadis yang dipanggil pemuda Yan itu menuntunnya agar duduk di sofa. "Keknya lo salah bantal atau apa gitu. Udah makan sama minum obat?" Pemuda itu menggeleng.
"Gue ... gue ngerasa ada yang gerak di dalam badan gue ...." Bren memegangi dadanya, terdiam seperti merasakan sesuatu. "Idup," sambungnya lagi.
"Mau maag?" Bren menggeleng. "Ya udah bentar gue—"
Bren memegang tangan Yan, menahan kepergiannya sambil membulatkan mata sempurna. "Bianca, dia ... dia di dalam gue ... dia ...." Badannya seakan bergerak terpatah-patah.
"Hah? Apaan Brendon?" Bianca semakin khawatir. "Lo kenapa, Anjir?!" Melihat keadaan pemuda itu, ia kelihatan panik.
"Cacing ... cacing ...." Suara Brendon seperti kakek-kakek, selayaknya berbicara dengan kerongkongan tertahan.
"Lo cacingan?!" Brendon diam, Bianca ikut diam tetapi dengan wajah kagetnya, dan tiba-tiba ....
Brendon memeluk erat Bianca.
"Brendon!" pekik Bianca, meronta, namun kekuatan Brendon terlalu kuat daripada dirinya. Pemuda itu diam, dan kini wajahnya masuk ke tengah-tengah area dada Bianca. Bianca memekik. "BRENDON GILA LO SANGE!" Bianca menampar keras pemuda itu.
Brendon tersungkur ke samping, napasnya terengah. "Itu bukan gue! Itu bukan gue! Itu si cacing!" teriak Brendon, memegang kepalanya. "Itu si cacing!" teriaknya, dan tangannya mengarah ke dada Bianca.
"Akan kuremas dua benda kenyal itu!"
Bianca ternganga akan Brendon yang angkat suara dengan nada yang berbeda. "Enggak! Enggak!" pekik Brendon, ia menarik tangannya sendiri. "Pergi, Yan! Pergi! Kabur! Bahaya! Bahaya!" Brendon menahan tubuhnya, sisi kiri yang seakan ingin menjamah Bianca sementara sisi kanan menahan dirinya.
Ia seperti bergulat dengan diri sendiri.
"PERGI!" teriak Brendon.
Takut, panik, kalut, membuat Bianca berdiri dari duduknya. Ia langsung berlari beberapa langkah namun berhenti untuk melihat Brendon yang masih asyik bergulat dengan diri sendiri.
"CEPETAN PERGI!" Brendon seperti kehabisan napas, tubuhnya berkeringat.
Bianca pun berbalik, namun siapa sangka ada Brendon di depannya. Tersenyum kejam ke arahnya dan di belakangnya ... ada tentakel serupa gurita menggeliat-geliat di sana.
"Ter ... lam ... bat ...." Nada suara kejam itu terdengar lagi.
Bianca terbeku, matanya fokus mendongak menatap pemuda itu. Sementara Brendon, mulai mendekatkan wajahnya ... bibir ke bibir siap menyatu.
Namun, sebelum menyetuh, Brendon menarik kepalanya. Ia meronta-ronta dan kembali bergulat dengan diri sendiri.
"BIANCA! CEPETAN KABUR! CEPETAN!" teriaknya, mendorong gadis itu keluar dengan keras hingga jatuh ke tanah, kemudian menutup pintu.
Bianca yang tersungkur di tanah berdiri dari duduknya, menatap rumah Brendon dengan wajah kaget. Walau kemudian, ia terdiam, dan menghela napas panjang.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA BEDA SPESIES [Brendon Series - H]
Romance18+ Brendon memeluk erat Bianca. "Brendon!" pekik Bianca, meronta, namun kekuatan Brendon terlalu kuat daripada dirinya. Pemuda itu diam, dan kini wajahnya masuk ke tengah-tengah area dada Bianca. Bianca memekik. "BRENDON GILA LO SANG*!" Bianca men...