Chapter 2

2.3K 192 12
                                        

Selamat Membaca!!!

***

"Dania yang cantik pulang!" teriak wanita itu dengan begitu nyaringnya, membuat Levin yang mengikuti dari belakang melengkungkan senyum, sementara Devi yang berada di dalam rumah bersama kedua anaknya yang lain saling menatap dan bergegas bangun dari duduknya. Melongo melihat senyum Dania yang terukir lebar sambil mengacungkan plastik berisi sate di tangannya.

"Dev, cubit gue," pinta Devin pada kembarannya yang berdiri di sebelahnya.

Menuruti keinginan saudara kembarnya, Devina mencubit lengan Devin dengan keras membuat laki-laki itu menjerit dan langsung berlari menghampiri Dania, kemudian memeluk kakak pertamanya itu dengan riang.

"Kakak tercinta Devin kembali, yey!" serunya benar-benar bahagia. Senyum Dania terbit, kemudian membalas pelukan adik bungsunya dengan sayang, tidak menyangka bahwa keluarganya akan bereaksi seperti ini. Dania jadi merasa menyesal karena sudah menutup diri begitu lamanya, apa lagi kini melihat mama-nya yang sudah berkaca-kaca melangkah menghampiri.

"Maafin Dania, ma, maaf udah buat mama sedih dan khawatir. Dania janji gak akan lagi terpuruk, dan Dania akan berusaha mengihklaskan Mike. Dania gak akan sedih lagi, dan buat kalian semua khawatir, " berhambur memeluk wanita yang sudah melahirkannya, Dania mengutarakan permintaan maafnya. Menyesal sudah membuat keluarganya kehilangan dirinya selama beberapa tahun belakangan ini.

"Sudah-sudah, lebih baik sekarang kakak naik ke kamar, mandi, setelah itu kita makan malam bersama. Mama siapin sate-nya, jagain sekalian biar gak di abisin Devin," ujar Levin menghentikan suasana haru di depannya, dan di akhiri dengan delikkan ke arah anak bungsunya.

"Enak aja main udahan-udahan, Devina belum kebagian, Pa." Protes Devina pada papanya, kemudian menarik mamanya itu agar melepaskan pelukannya dari Dania, dan di gantikan oleh dirinya.

"Jangan jadi patung hidup lagi ya, Sis. Sedih aku tuh gak ada teman curhat," ucap Devina di pelukan sang kakak yang malah terkekeh dan melayangkan sentilan kecil di keningnya.

"Gak akan deh, janji. Kakak juga cape sedih terus, kangen berantem sama kalian. Gak nyangka aku kalian berdua udah dewasa aja," Dania menarik adik lelakinya masuk ke dalam pelukan. "Jangan dulu pada nikah ya, sebelum aku ketemu jodoh baru," pinta Dania yang dengan kompak di angguki adik kembarnya.

Devi dan Levin tersenyum lega menyaksikan anak-anaknya, kini keluarganya sudah kembali setelah bertahun-tahun terasa hampa tanpa adanya senyum Dania. Sebagai orang tua Levin dan Devi berharap bahwa anak pertamanya itu segera menemukan kembali belahan jiwanya yang akan memberikan kebahagiaan baru untuk Dania, hingga membuat perempuan itu lupa pernah merasakan kesedihan yang begitu dalam.

💖💖💖

Begitu jam makan malam tiba, Dania tak lama turun dari kamarnya dengan wajah seger dan senyum yang terukir, tidak seperti biasanya yang selalu menampilkan wajah datar dengan sorot mata yang menampilkan kesedihan, dan biasanya di jam-jam seperti ini wanita itu baru saja kembali dari bekerja, lebih sering tidak ikut makan malam apa lagi berkumpul.
Mengurung diri di kamar adalah kebiasaannya, tidak peduli meski cacing-cacing di perutnya berdemo meminta di beri makan.

"Ini sate langganan kita dulu itu kan?" tanya Devin mengacungkan satu tusuk sate ayam yang baru saja di ambilnya. Anggukan sebagai jawaban yang di berikan Dania.

"Udah lama kita gak makan sate di sana, gara-gara papa gak izinin kita beli tuh sate," Devina menunjuk papanya dengan tusuk sate yang baru saja dagingnya habis di makan.

"Loh, kenapa?" heran Dania menaikan sebelah alisnya.

"Kata papa, gak boleh makan sate itu kalau kakak gak makan. Nyebelin emang orang tua satu itu." Devin mencebikan bibirnya.

"Maafin kakak ya, kar--"

"Kak Dan gak perlu minta maaf, kakak gak salah kok," cepat Devina memotong ucapan Dania, dan di angguki setuju oleh Devin. "Itu mah karena papa-nya aja yang gak mau ngeluarin uang buat beli itu sate," lanjut Devina mencibir, dan Devin kembali memberikan anggukan juga acungan jempol tanda bahwa dirinya membenarkan apa yang di katakan saudara kembarnya.

"Potong uang jajan ya, Devina, Devin!" ancam Levin memberikan tatapan tajamnya.

"Tuh, Kak, Papa ancamannya uang jajan terus, mentang-mentang kita belum kerja."

Dania terkekeh geli mendengar pengaduan dari kedua adiknya, sudah lama ia tidak merasakan bahagianya berkumpul dengan keluarga, adik-adik yang dekat dengan dirinya, keluarga yang menyayanginya, dan kekonyolan keluarganya. Semua itu sudah Dania lewatkan selama bertahun-tahun hanya karena terlalu larut dalam kesedihan.

"Terusin aja, Vin, terusin ngadunya, lihat aja besok Papa sita mobil sama motornya. Bodo amat kalian mau berangkat sekolah jalan kaki juga."

"Ancaman papa gak ngaruh, kita masih ada sepeda. Sorry, ya, Devin masih kuat kayuh tuh sepeda sampai tiba di kampus," bertos ria Devina dan Devin lakukan, membuat Dania kembali terkekeh, tidak menyangkan bahwa adik-adiknya sudah semakin pintar melawan pada papanya.

"Nyebelin emang kalian berdua, turunan siapa sih hah!" dengus Levin jengkel.

"Lah kan turunan Papa, jadi kalau kita nyebelin, itu berarti papanya lebih nyebelin." Suara gemeletuk gigi Levin terdengar, di barengi dengan delikan jengkel ke arah dua anak kembarnya itu, sementara kedua bocah itu hanya tertawa merasa menang.

"Akui aja Pa, mereka memang turunan Papa, kok." Devi menepuk pundak suaminya beberapa kali seraya ikut tertawa bersama anak-anaknya.

Suasana hangat keluarganya seperti inilah yang ternyata membangkitkan semangat Dania, pikiran yang selama empat tahun ini terasa berat dan menyiksa hingga sebuah senyum tidak dapat dirinya sunggingkan. Namun saat hatinya tergerak untuk mencoba mengikhlaskan, semua terasa lebih ringan dan senyum dapat dengan leluasa Dania berikan. Selama ini Dania terlalu larut dalam kesedihan, sampai tidak menyadari bahwa obat untuk kesedihannya itu adalah keluarganya sendiri.

Memang benar, bersedih hanya kan membuat hidupnya sulit dan semakin berat, juga menghambat hadirnya sebuah kebahagiaan baru. Mungkin menyesal sudah tidak ada lagi gunanya, tapi setidaknya Dania masih bisa untuk memperbaiki, menata kembali hidupnya, dan bergerak untuk melanjutkan langkah hidupnya yang masih panjang.

Lagi pula dirinya masih mendambakan sebuah pernikahan, dan Dania ingin kembali meraih itu, dengan harapan bahwa setelah ini, ia mendapatkan pasangan baru yang sama baiknya dengan kekasihnya dulu.

Mike juga pasti tidak akan bahagia jika melihatnya selalu menangisi kepergian laki-laki itu. Toh kegagalannya bukan karena sebuah pengkhianatan, melainkan karena kecelakaan, jadi tidak ada alasan untuk Dania trauma menjalin kasih.

Dania berpikir, mungkin ini lah waktunya untuk kembali membuka diri, menemukan cinta yang akan menyembuhkannya dari perasaan kehilangan. Tapi, bisakah kira-kira dirinya menemukan belahan jiwanya? Menemukan laki-laki yang mencintainya dengan begitu tulus, seperti Mike yang mencintainya?

Bisakah dirinya pun mencintai laki-laki itu seperti dirinya mencintai Mike yang sempat akan menjadi mempelai di pernikahannya? Memikirkan itu, membuat Dania menghembuskan napasnya panjang, bingung harus mencari ke mana sosok laki-laki yang ada dalam pikirannya kini.

"Kak," tegur Devi menepuk pundak putri pertamanya itu, menyadarkan Dania dari lamunannya.

"Kenapa ma?" Dania menatap sekeliling meja makan yang ternyata sudah sepi di tinggal penghuninya.

"Kamu melamun? Mikirin apa? Mike lagi?" Dania dengan cepat menggelengkan kepala. "Terus kenapa dong?" tanya Devi mengernyitkan keningnya.

"Kakak lagi bingung mau cari jodoh dimana," jujur Dania di akhiri dengan cengiran, setelah itu bergegas bangkit dari duduknya dan berlari meninggalkan dapur setelah menyempatkan diri untuk memberikan kecupan singkat di pipi sang mama yang kini melongo melihat kepergian Dania.

***

Tbc ...

Welcome My HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang