Selamat Membaca !!!
***
Plakk.
Sebuah tamparan keras menyambut kedatangan Dava, membuat laki-laki dengan wajah lesunya itu menatap tak mengerti pada sang papi yang berdiri di hadapannya, di samping laki-laki baya itu ada sang mami yang berusaha menahan suaminya dengan air mata yang sudah menggenang.
Kedua alis Dava mengerut, tangannya memegang pipi sebelah kirinya yang terasa kebas akibat tamparan sang papi. Sungguh Dava tidak paham mengapa orang tuanya menatap dengan sebuah kekecewaan. Dava sungguh tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini.
“Papi kenapa nampar, Dava? Papi tahu Dava baru pulang, Dava cape ingin istirahat.” Ujarnya berusaha untuk tidak emosi. Tubuhnya benar-benar lelah, dan Dava membutuhkan istirahat untuk memulihkan tubuhnya, bukan kemarahan sang papi yang tidak di ketahui penyebabnya.
“Kamu ingin enak-enakan istirahat di saat semua orang kalut mengkhawatirkan keberadaan Dania?!” Sultan menggelengkan kepala tak habis pikir. Tidak menyangka bahwa anaknya bisa seberengsek ini.
Dava semakin mengerutkan alisnya, membuat lipatan itu semakin dalam terlihat. “Dania?” Dava bertanya tak paham. “Apa yang terjadi sama Dania?” kebingungannya berubah jadi kekhawatiran. Dava mengguncang tubuh papinya memaksa orang tua itu untuk mengatakan apa yang terjadi pada sang tunangan. Namun dengan cepat Sultan justru menyingkirkannya dengan kasar, hingga Dava terjatuh ke lantai dan itu membuat sang mami berteriak histeris, dengan air mata yang tak lagi bisa di tahan.
“Seharusnya Papi yang bertanya, Dava! Apa yang kamu lakukan hingga membuat Dania membatalkan pernikahan?!” murka, dan sekali lagi Dava mendapatkan tamparan tangan kasar itu. Baru kali ini Dava melihat papinya semarah ini hingga tidak bisa mengendalikan emosi.
Namun apa yang di ucapkan pria paruh baya itu membuat Dava seakan mendapatkan lemparan boom yang meledak tepat di hadapannya.
“Papi bilang apa barusan? Dania membatalkan pernikahan?” tanya Dava untuk memastikan. Dan pertanyaannya itu mendapatkan sebuah anggukan dari sang mami yang sejak tadi hanya berdiri dengan tangisnya.
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Dava berlari keluar dari rumah tanpa menghiraukan panggilan sang mami. Tubuh lelahnya Dava abaikan dan segera masuk ke dalam mobil, melajukannya dengan kecepatan penuh agar secepatnya tiba di kediaman calon istri untuk memastikan bahwa apa yang di katakan orangtuanya hanyalah bualan semata.
Namun begitu tiba di sana, tamparan yang kembali menyambut kedatangan Dava. Tatapan kecewa dan juga kebencian itu Dava dapatkan dari keluarga Dania. Terlebih Devin yang tanpa henti menghajarnya, melampiaskan kekecewaan dan amarahnya.
Dava tak melawan, bukan tak ingin, tapi kenyataan bahwa Dania pergi, meninggalkan luka yang teramat dalam. Dava tidak tahu menahu apa alasan sang tunangan melarikan diri, tapi saat Devina mengatakan bahwa Dania sempat pergi menyusul, sedikit banyak Dava dapat menebak, meskipun itu cukup membuatnya terkejut, karena bagaimanapun dirinya tidak bertemu Dania di sana. Tapi kemungkinan atas tebakannya bisa menjadi alasan kepergian wanita tercintanya. Namun Dava tidak menyangka tunangannya itu memilih untuk melarikan diri di saat dirinya bisa memberikan penjelasan.
“Argghh!” Dava berteriak frustrasi saat masuk kembali ke dalam mobilnya.
Wajahnya yang babak belur, perut dan kakinya yang sakit tidak begitu Dava rasa, karena kini hatinya yang lebih terluka. Kesalahpahaman yang pada akhirnya membuat semuanya berantakan. Rencana pernikahan yang tinggal menghitung minggu mendadak kacau dengan kepergian calon pengantin perempuan, dan Dava saat ini kebingungan ke mana dirinya harus mencari sang pujaan.
“Kamu ke mana, Sayang. Kenapa pergi sebelum aku beri pejelasan, kenapa kamu tinggalkan pernikahan kita, kenapa?” Dava berkali-kali membenturkan kepalanya pada kemudi, lalu melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah calon mertuanya. Tidak ada waktu untuk berdiam diri, ia harus segera mencari Dania, menemukan calon istrinya dan menjelaskan kesalahpahaman yang ada.
***
Dava menepikan mobilnya di pinggir jalan setelah seharian mencari sang tunangan ke tempat-tempat yang dulu pernah mereka kunjungi. Namun hingga malam larut seperti ini tidak ada sedikitpun tanda-tanda keberadaan Dania. Banyak orang yang sudah Dava tanya, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang melihat sosok cantik tunangannya itu.
“Ke mana lagi aku harus nyari kamu, Sayang?” lirihnya, mengelus layar datar di tangannya yang menampilkan foto Dania yang di ambil ketika kencan pertamanya tempo lalu. Dan tanpa sadar setetes bening yang tidak pernah menampakan keberadaannya itu kini terjatuh di iringi isakan kecil yang begitu sendu.
Untuk pertama kalinya Dava menangis hanya karena seorang wanita. Namun dari sini sudah dapat di simpulkan bahwa Dava takut kehilangan Dania.
Setelah puas menangis dan mulai sedikit tenang, Dava kemudian kembali melajukan mobilnya. Saat ini pilihannya adalah rumah, sejenak mengistirahatkan tubuhnya sebelum kembali mencari sang tunangan. Dava tidak ingin memaksakan tubuh lelahnya untuk terus mencari, terlalu takut tak bisa konsentrasi dan berakhir mencelakai diri sendiri. Dava belum boleh mati sebelum membawa calon istrinya kembali.
Setibanya di rumah, Dava berjalan dengan lesu, mengabaikan sang mami yang menghampiri dengan sorot mata khawatir dan mengikuti putranya itu hingga kamar.
“Kamu dari mana aja?” tanya lembut Risty, duduk di samping sang putra yang langsung menjatuhkan tubuhnya di ranjang.
“Nyari Dania.” Jawabnya singkat dan lesu. Mata Dava terpejam, dan gurat lelah itu dapat dengan jelas Risty lihat.
Tidak tega melihat anaknya yang kacau seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, Risty tidak bisa melakukan apa pun untuk membantu putranya. Tidak ada yang tahu ke mana calon mantunya pergi, bahkan keluarganya sekalipun.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?”
Dava menggeleng palan, masih belum tahu jelas mengenai apa yang menjadi alasan kepergian Dania. Meskipun ada satu kemungkinan yang dirinya simpulkan, tapi ia harap bahwa itu adalah salah, karena jika benar, Dava menyayangkan keputusan calon istrinya yang memilih pergi hanya karena sebuah kesalahpahaman.
“Mami dengar, Dania sempat nyusul kamu ke Inggris. Apa kalian bertemu disana?” kembali Risty bertanya seraya mengusap lembut kepala putranya yang tidur menyamping sambil memeluknya.
“Dava gak ketemu, Dania. Bahkan Dania pergi menyusulpun Dava gak tahu kalau bukan Devina yang ngasih tahu. Beberapa hari belakangan Dava memang gak komunikasi sama Dania, ponsel Dava hilang, dan belum sempat beli lagi mengingat Dava yang memang akan pulang saat itu, tapi …” Dava menjelaskan apa yang terjadi hingga membuatnya pulang terlambat dari jadwal yang seharusnya.
Beruntung sang mami paham dan tidak menyalahkannya. Namun tetap saja wanita paruh baya itu tidak membenarkan niat baik yang dilakukannya, karena bagaimanapun ada hati yang harus Dava jaga.
Dava paham, dan ia menyesal sekarang. Tapi apalah guna sebuah penyesalan di saat semua sudah terlanjur kacau berantakan.
Dava merutuki dirinya sendiri yang sudah mengabaikan sebuah komunikasi. Andai ponselnya tak hilang, andai saat itu ia langsung membeli yang baru, andai dirinya bertemu dengan Dania saat itu, mungkin hubungannya masih dapat di perbaiki, Dania tidak akan melarikan diri dan pernikahan akan tetap berjalan sesuai yang di sepakati.
***
Tbc. ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome My Happiness
General FictionKesedihan seolah sudah menjadi teman setia Dania sejak calon suaminya pergi tanpa pesan, bukan pergi karena sebuah penghianatan, melainkan kecelakaan yang tidak pernah terbayangkan akan merenggut nyawa orang tersayang. Kejadian itu merenggut kebahag...