Selamat Membaca!!!
***
Tidak seperti hari-hari biasanya, Dania kini sedikit melebarkan senyum begitu tiba di kantor tempatnya bekerja, dan saat bertemu beberapa karyawan lain yang menyapa, membuat sebagian dari mereka terkejut dengan apa yang di lihat, karena biasanya anak dari bos besar itu tidak pernah sekalipun melayangkan senyuman apalagi membalas sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya.
Tidak sedikit orang yang membicarakan Dania yang selalu bersikap dingin dan terkesan angkuh selama tiga tahun belakangan ini. Dan Dania pun tidak menutup telinga dengan adanya anggapan-anggapan para karyawan ayahnya itu. Dania sepenuhnya tahu, hanya saja dia terlalu malas untuk membungkam mulut semua orang yang membicarakannya di belakang.
Kehilangan yang membuat Dania secuek itu, dan malas menanggapi apa pun yang tidak penting baginya. Dan hari ini Dania semakin menjadi bahan omongan para karyawan, membuat Dania heran harus seperti apa dirinya.
Jika saja tidak berjanji pada kedua orang tua dan adiknya, Dania pastikan untuk tetap dengan sikapnya seperti tiga tahun ini. Tapi apalah daya janji sudah terucap, dan Dania bukan orang yang suka mengingkari janjinya sendiri.
"Selamat pagi, Bu Dania." Sapa Rindu menundukkan sedikit kepalanya sebagai hormatnya pada sang bos.
Sapaan yang di balas dengan senyuman tulus itu membuat Rindu melongo, tak percaya, sampai suara Dania yang memanggil namanya membawa kembali pada dunia yang beberapa detik di tinggalkannya.
"Ya, maaf bu?" tanya Rindu dengan salah tingkah, karena ketahuaan tidak menyimak apa yang di katakan atasannya.
Rindu yang beberapa saat gugup dan takut kena marah Dania, malah semakin melongo melihat wanita cantik di depannya terkekeh geli. Ini sungguh luar biasa dan Rindu benar-benar takjub, juga terpesona melihat betapa cantiknya sang bos. Dania yang di kenal sebagai atasan yang dingin dan menyeramkan karena tatapan tajamnya yang sepeti laser, kini berubah anggun, dan Rindu masih sulit mempercayai ini.
Tiga tahun menjadi sekertaris perempuan yang usianya dua tahun di bawahnya itu, baru kali ini Rindu melihat senyum cantik Dania yang benar-benar tulus. Bahkan 3 tahun belakangan ini senyum paksa pun tidak pernah terukir dari bibir yang hanya berpoles lip balm seadanya itu.
"Jadwal saya hari ini apa?" Dania mengulang pertanyaannya.
"Ah iya, sebentar." Rindu dengan segera mengambil catatan kecilnya yang selalu ia gunakan untuk mencatat segala jadwal Dania setiap harinya.
Mendengarkan satu per satu jadwalnya, Dania kemudian mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada sekretarisnya itu sebelum kemudian masuk ke ruangannya sendiri.
Dania menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya, untuk sesaat ia manatap ke arah jendela besar yang tepat berada di belakang meja kerjanya. "Kenapa gue baru sadar kalau pemandangan dari sini terlihat begitu indah?"
Dania berbicara pada dirinya sendiri, sebelum bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati jendela besar itu. Menatap bangunan-bangunan lainnya, serta kemacetan jalan raya yang terlihat kecil dari lantai 15 tempatnya berpijak saat ini.
"Kamu lagi ngapain disana?" Levin yang tiba-tiba masuk keruangan sang putri terkejut melihat putri tercintanya menunduk ke luar jendela yang terbuka.
"Ganggu aja deh, Papa!" decak kesal Dania, menghentakan kakinya dengan wajah cemberut.
"Ya, lagian kamu ngapain? Mau bunuh diri?"
Delikan tajam Dania berikan ke arah laki-laki tua kesayangannya itu. "Dania gak seputus asa itu. Kalau pun niat, udah dari empat tahun lalu Dania melakukannya untuk nyusul Mike."
Levin yang masih mendengar nada sedih anaknya langsung memberikan pelukan untuk menenangkan sang putri. Namun belum juga berhasil merengkuhnya, Dania sudah lebih dulu menghindar, membuat Levin pada akhirnya hanya memeluk udara.
"Papa mau kasih kamu pelukan hangat unuk menenangkan kamu. Ck, malah menghindar. Dasar anak tidak tahu terima kasih!" dengus Levin pura-pura marah. Dania sendiri malah tertawa dan mengikuti sang papa untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya.
"Papa ngapain ke sini pagi-pagi?" tanya Dania begitu tawanya terhenti.
"Mau ngecek kinerja karyawan." Jawab Levin dengan tenang.
"Ck, serius deh, Pa, mau ngapain ke ruangan Dania pagi-pagi gini. Dania banyak kerjaan, malas kalau Papa cuma mau ngajak bergosip."
"Kerjaan Papa lebih banyak dari kamu!"
Memutar bola matanya malas, Dania kini menatap ayahnya dengan tatapan serius. "Kalau begitu ada perlu apa Bapak Levin yang terhormat datang mengunjungi ruangan saya?" tanya Dania dengan formal.
"Kamu jadi sekretaris Papa mulai minggu depan,"
"What?! Papa serius? Jadi sekertaris?" Dania menggelengkan kepalanya. "Kenapa malah jadi turun jabatan?" tanya Dania tak habis pikir. "Lagi pula 'kan, Papa udah punya Mbak Rin. Bukannya dia sekertaris kesayangan Papa?"
"Sekertaris Papa mengundurkan diri, ikut suaminya pindah ke Malaysia." Levin berkata dengan lesu, tentu saja karena Rini adalah sekertaris yang sigap, cekatan dan dapat di andalkan. Kehilangan sekertaris seperti itu tentu saja membuat Levin berat menerimanya. Tidak mudah untuk mencari sekertaris yang seperti itu, apa lagi dalam waktu yang singkat. Sebab itu lah, Levin akhirnya meminta sang putri untuk menjadi sekertarisnya.
"Kenapa harus Kakak?"
"Karena gak ada yang lain selain kamu yang cocok jadi sekertaris Papa."
"Serendah itu seorang Dania?" entah untuk keberapa kalinya Dania menggelengkan kepala. "Kakak gak mau jadi sekertaris. Yang benar aja dari seorang manajer keuangan turun jabatan dari sekertaris. Gak ada! Kakak udah nyaman di posisi sekarang. Tuh Papa boleh deh ambil Rindu buat jadi sekertaris Papa." Dania masih tetap melayangkan keberatannya. Tidak dapat dirinya bayangkan bagaimana jadinya menjadi sekertaris sang papa yang begitu suka memberikan perintah.
"Jadi kamu benar-benar gak mau jadi sekertaris Papa? Gajinya Papa kasih dua kali lipat deh dari gaji kamu sekarang." Levin memberikan penawaran yang begitu menggiurkan.
"Dania tetap menolak. Maaf ya Papa sayang, lebih baik Papa ambil Rindu aja, Kakak rela kok."
"Tiga kali lipat deh," Levin tak juga ingin menyerah untuk menjadikan Dania sebagai sekertarisnya.
"Gak tertarik!" kukuh Dania tetap menolak, membuat Levin mengacak rambutnya frustrasi.
"Ayolah, Kak, bantu Papa, please! Kamu kan tahu sendiri Mama kamu itu selalu curigaan kalau Papa punya sekertaris cantik, apa lagi yang belum nikah."
"Itu urusan Papa sama Mama. Maaf ya, Kakak gak mau ikutan. Dan, kakak juga gak mau jadi sekertaris Papa!" Dania memberi penegasan, setelah itu bangkit dari sofa dan pindah ke kursi kerjanya, mulai menekuni pekerjaan yang sudah menunggu. Sementara Levin menatap sebal pada anaknya sebelum kemudian melenggang meninggalkan ruangan Dania, tidak lupa untuk membanting pintu tersebut yang membuat Dania terlonjak kaget, lalu tertawa setelahnya.
Sudah lama Dania tidak membuat laki-laki tua itu kesal, dan sudah lama pula dirinya tidak bersenang-senang seperti ini.
"Selamat uring-uringan papa sayang."
***
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome My Happiness
Ficción GeneralKesedihan seolah sudah menjadi teman setia Dania sejak calon suaminya pergi tanpa pesan, bukan pergi karena sebuah penghianatan, melainkan kecelakaan yang tidak pernah terbayangkan akan merenggut nyawa orang tersayang. Kejadian itu merenggut kebahag...