Happy Reading!!!
***
"Dania gak mau, Papa! Harusnya Papa ingat Mike meninggal karena kecelakaan pesawat, dan sekarang Papa minta Dania pergi ke Singapura demi pekerjaan? Papa jangan becanda! Dania sampai kapan pun tidak akan pernah mau menaiki transportasi sialan itu!" murka Dania saat dirinya kembali dari makan siang langsung di panggil sang papa untuk ke ruangannya. Tidak menyangka bahwa ini lah yang papa-nya inginkan.
Sejak berita meledak dan terjatuhnya pesawat yang membawa Mike serta keluarganya, sejak saat itu lah Dania benci pada kendaraan terbang itu. Dania bahkan tidak sanggup walau hanya memasuki bandara dan melihat pesawat. Padahal sejak itu jasad Mike akan di kembalikan ke tanah kelahirannya setelah tiga hari kemudian di temukan. Dania pingsan di tempat begitu orang tuanya meminta untuk masuk ke dalam pesawat, jadilah hanya Devin dan sang ayah yang pergi, sementara Dania di bawa ke rumah sakit.
“Kak, tapi itu sudah lama. Empat tahun apa ketakutan kamu itu tidak juga hilang? Please, lagi pula tidak semua pesawat akan mengalami hal itu. Papa memilih pesawat terbaik untuk kamu, dan sudah di pastikan bahwa pesawat yang akan kamu naiki itu aman.” Mohon Levin, yang tidak tahu lagi siapa yang akan dirinya minta pergi, sementara di hari yang sama Levin harus pergi ke London untuk urusan yang sama, mengenai pekerjaan.
“Ada Devin, Devina juga, Pa. Kenapa harus aku? Sampai kapan pun, Dania gak mau menggunakan kendaraan sialan itu. Gak Pa!” kekeh Dania menolak, air mata yang sejak tadi sudah menerobos meminta di lepaskan, akhirnya terjatuh membasahi pipinya. Tidak mengerti kenapa ayahnya tiba-tiba bersikeras seperti sekarang ini.
“Adik-adik kamu masih belajar, Kak. Papa tidak mungkin mengirim mereka untuk bisnis sepenting ini. Lagi pula adik-adik kamu masih harus kuliah. Tolong dong Kak. Kalau bukan kamu siapa yang harus gantiin Papa? Singapura dekat dan kamu sudah hafal tempat-tempat di sana.”
Levin masih terus memohon, permintaannya ini memang tidak sulit menurutnya, hanya saja bagi Dania itu sungguh tak mudah. Bukan karena pekerjaannya, melainkan perjalanannya. Dania benar-benar membenci kendaraan terbang itu, kendaraan yang sudah menghilangkan nyawa calon suaminya.
“Papa, tolong jangan jadi orang tua yang egois. Jangan buat Dania benci sama papa dan kembali pada kehidupan Dania empat tahun belakangan ini, mengurung diri dan mengabaikan kalian semua.”
“Kak--”
“Tapi, kalau Papa ingin mendengar kabar kematian Dania lebih cepat ... baik, Dania akan pergi sesuai keinginan papa.”
Setelah mengucapkan itu Dania pergi dari ruangan ayahnya, membanting pintu dengan begitu kerasnya sampai beberapa orang di sana terkejut dan menatap heran ke arah Dania yang sudah di banjiri air mata dengan tubuh bergetar yang tidak bisa di sembunyikan.
Dengan cepat Levin mengejar anaknya sebelum penyesalan semakin Levin rasakan. Beruntung Dania masih berada di depan lift yang belum terbuka, membuat Levin langsung saja menarik anak pertamanya itu ke dalam pelukan. Tidak peduli beberapa orang yang kebetulan melintas menatapnya dengan penasaran, walau pada akhirnya melenggang pergi karena tidak ingin mencampuri urusan bosnya.
“Maafin Papa, Kak. Papa benar-benar minta maaf. Papa janji tidak akan pernah lagi meminta kamu pergi, Papa janji tidak akan pernah lagi memaksa kamu menaiki pesawat. Tolong ... tolong jangan kembali seperti dulu. Jangan buat Mama, Papa dan kami semua kembali bersedih. Tolong maafin Papa.” Lirih Levin memeluk erat putrinya yang menangis hebat.
“Mike ... kenapa pergi, kenapa tinggalin aku, bukannya menjawab, Dania malah justru meracau, dan itu membuat Levin semakin mengeratkan pelukannya. Hingga kemudian Dania menggeleng dan berteriak memanggil nama calon suaminya dengan begitu menyakitkan. Sebelun akhirnya Dania jatuh pingsan. Beruntungnya Dania berada dalam pelukan erat Levin hingga tidak membuat tubuhnya terjatuh ke lantai.
“Rini minta Pak Jon siapkan mobil di bawah, cepat!” titah Levin berteriak pada sekretarisnya yang dengan cepat wanita cantik itu laksanakan, sementara Levin dengan segera memangku anak pertamanya yang tidak sadarkan diri, masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka.
Raut khawatir di wajah Levin tidak dapat di sembunyikan dan begitu sampai di lobi, Levin berlari dengan cepat menuju mobil yang sudah siap dan sang sopir yang sudah membukakan pintunya, menyambut kedatangan Levin yang menggendong Dania.
Tanpa bertanya dan mendapat perintah pun sang sopir langsung melajukan mobilnya, sudah sangat hafal akan pergi ke mana bosnya itu. Karena selama empat tahun ini, Dania bukan sekali dua kali pingsan, entah itu di tempat kerja maupun di rumah. Dan memang bukan satu dua kali juga wanita cantik yang tak lain anak dari bosnya masuk rumah sakit, sudah tidak terhitung jari. Dan Pak Jon, yang tak lain adalah sopir pribadi Levin selalu sigap kapan pun tuannya itu memanggil secara mendadak seperti sekarang ini.
Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk Levin akhirnya sampai di rumah sakit dan segera memindahkan anaknya ke brankar yang sudah menunggu kedatangannya. Jangan heran, karena semua itu sudah pasti pekerjaan sekretarisnya yang sudah hafal akan apa yang harus di lakukan.
“Uncle ngapain disini?” tepukan kecil Levin rasakan saat dirinya berdiri di depan IGD, dan mendapati keponakannya menatap penasaran.
“Dania pingsan, ja--”
“Kok bisa pingsan?” potong Ratu cepat, cukup terkejut mendengar sepupunya kembali pingsan setelah beberapa bulan belakangan tidak lagi mendapat kabar seperti ini dari kakak sang bunda. Dan terakhir yang mereka dengar adalah dua hari lalu, yang mengatakan bahwa Dania sudah kembali ceria.
“Uncle yang salah,” cicit Levin.
“Iya Atu tahu, uncle yang salah, tapi karena apa?” gemas Ratu yang sudah tidak sabar ingin segera tahu penyebab sepupunya kembali terbaring pingsan, dan memberitahukan pada anggota keluarga lainnya mengenai kabar ini.
“Minta Dania pergi ke Singapura untuk handle pekerjaan uncle di sana.”
“What?!” Ratu benar-benar terkejut, dan ingin sekali memaki laki-laki tua di depannya, andai saja mulutnya tidak di bungkam oleh suami tampannya, juga tatapan tajam yang sarat akan ancaman tidak Birma layangkan, memperingatinya untuk tidak heboh mengingat mereka berada di rumah sakit.
Karena keterkejutannya yang berakibat pada perut buncitnya, Ratu akhirnya duduk, menarik dan menghembuskan napasnya untuk kembali tenang. Setelah itu mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan pada grup keluarga besar mengenai keberadaan Dania saat ini. Sementara Levin merutuki diri dan menyalahkan dirinya sendiri mengenai semua hal yang terjadi pada anaknya kini.
Levin menyesal, tidak seharusnya ia meminta sang anak untuk pergi untuk mengurusi pekerjaannya di negara tetangga yang mengharuskan menaiki kendaraan yang begitu di benci anaknya.
Seharusnya Levin tahu, bahwa kesedihan sang putri belum sepenuhnya hilang, ketakutan anaknya masih bersarang, dan Levin malah justru memaksa Dania untuk pergi, menaiki pesawat.
Hanya mendengar namanya saja, sudah membuat emosi Dania meluap, jiwanya kembali terguncang. Tidak bisa membayangkan bagaimana jika anaknya benar-benar menaiki kendaraan itu atas keegoisannya. Levin tidak sanggup jika benar-benar harus kehilangan putrinya.
“Maafin Papa, Kak, maaf.”
***
Tbc ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome My Happiness
General FictionKesedihan seolah sudah menjadi teman setia Dania sejak calon suaminya pergi tanpa pesan, bukan pergi karena sebuah penghianatan, melainkan kecelakaan yang tidak pernah terbayangkan akan merenggut nyawa orang tersayang. Kejadian itu merenggut kebahag...