Selamat Membaca !!!
***
Hingga pagi kembali datang, kecemasan semua orang di rumah nyatanya semakin menjadi, karena ketidak hadiran Dania di saat makan malam hingga sarapan pagi ini.
Sejak semalam, Devi, Levin dan Devina bergantian mengetuk pintu, meminta Dania yang ada di dalam sana untuk datang bergabung, tapi jangankan kehadiran, respons pun tidak sama sekali mereka dapatkan.
Devin yang babak belur akibat penghakiman yang di berikan Devina tentu semakin merasa bersalah, dan dirinya pun berusaha mengetuk pintu, memohon maaf pada sang kakak, yang sama sekali tidak memberikan jawaban.
Devin yang tidak ingin menjadi satu-satunya orang yang di salahkan, langsung menghubungi abang laknatnya, dan meminta pria itu untuk datang kerumahnya.
Seperti apa yang di harapkan, Rapa pun pada akhirnya mendapatkan hal yang sama, bahkan serangan itu di dapat dari dua orang sekaligus, tak lain Devina dan Devi.
Awalnya Rapa keheranan dengan sambutan kedatangannya yang tidak sama sekali mengenakan, tapi setelah ucapan aunty-nya mengenai keadaan Dania terlontar dengan suara bergetar, barulah Rapa paham pada akar permasalahannya dan menjelaskan mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Rapa meminta maaf akan kesalahan yang awalnya hanya berniat untuk memberikan yang terbaik bagi sepupunya, tapi mengenai ending ini jelas saja jauh dari perhitungan Rapa, bahkan tidak sedikit pun terlintas di benaknya.
Menghubungi Dava sudah Rapa lakukan, tapi sayang nomor sahabatnya itu tidak bisa hubungi. Padahal Rapa berniat untuk memberikan semua informasi mengenai Dania, juga izin untuk mendekati sepupunya. Berharap masih ada kesempatan untuk memperbaiki dan membuat Dava membatalkan perjodohan dari orang tuanya.
Namun, apa boleh di kata … Rapa tentu saja menyesal mengenai apa yang sudah terjadi, apa lagi keadaan Dania saat ini menjadi pukulan berat bagi keluarga, termasuk Levin yang saat itu baru pulang bekerja dan sudah di suguhkan dengan pemandangan yang tak mengenakan, di tambah dengan kabar mengenai putri pertamanya yang kembali pada mode mengurung diri.
Rapa sadar bahwa sepertinya Levin ingin sekali mencincangnya. Namun lebih dari pada itu, Levin memilih memastikan sendiri keadaan anak perempuan pertamanya, dan kembali dengan hasil yang sia-sia. Saat itu juga lah, tendangan kuat Levin berikan di kaki keponakannya, tak lupa anak lelakinya pun mendapatkan hal yang serupa.
“Papa udah cari tahu mengenai Dava?” tanya Devi begitu menyajikan secangkir teh untuk suaminya.
Levin menjawab dengan anggukan singkat tanpa mengalihkan fokusnya pada tablet di tangan, membaca informasi mengenai Dava dari e-mail yang dikirimkan seseorang kepercayaannya. Dan dari sanalah Levin tahu siapa Dava sebenarnya, orang tua pria itu dan latar belakang Dava yang membuat Levin pada akhirnya menghela napas.
“Gagal deh dapat mantu anak sultan.” Desah Devin terdengar kecewa, seraya meletakan benda persegi di tangannya itu ke atas meja, di gantinya dengan cangkir teh yang baru saja disajikan istrinya.
“Maksudnya?” heran Devi yang sama sekali tidak paham dengan apa yang di katakan suaminya barusan. Namun Levin seolah tak mendengar pertanyaan yang dilayangkan istrinya itu.
“Gara-gara anaknya Si Lily emang ini mah, gue kehilangan mantu yang potensial. Awas aja lo, Rap, gak akan segan-segan gue minta ganti rugi.”
🍒🍒🍒
Dania masih tak bosannya memandangi layar ponsel yang sejak siang kemarin setia dalam genggamannya, menunggu pesan yang sebenarnya mustahil untuk dirinya dapatkan setelah pesan terakhir yang dirinya kirimkan tidak sama sekali mendapat balasan. Entahlah kenapa Dania bisa sampai sebesar ini berharap pada laki-laki yang jelas-jelas belum lama dirinya kenal. Namun salah kah?
Menghela napasnya panjang, Dania kemudian melempar ponselnya ke sembarang, lalu melangkah menuju jendela dan menutup gorden yang masih terbuka. Hari memang sudah menjelang malam, dan hingga saat ini tidak ada sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutnya. Dania terlalu melas untuk keluar, di tambah dengan selera makan yang memang tidak dirinya miliki.
Jangankan untuk makan, hanya mengeluarkan kata saja rasanya Dania malas, ada kecewa juga kesedihan yang saat ini menyelimuti hatinya, tapi Dania tidak tahu pada siapa kecewa itu ia tujukan juga atas apa kesedihan itu dirinya rasakan.
Tanpa menyalakan lampu untuk memberi cahaya pada kamarnya yang gelap, Dania melangkah kembali menuju ranjangnya, membaringkan tubuh yang lelah tanpa sebab dan menatap langit-langit kamarnya yang gelap.
Dania jadi merasa bahwa dirinya kembali pada masa kesedihannya atas kepergian Mike yang hampir menjadi suaminya. Kesedihan yang beberapa waktu lalu berniat dirinya tinggalkan untuk menyambut kebahagiaan, nyatanya malah berakhir seperti ini, Dania jadi merasa bahwa Tuhan memang tidak mengizinkannya untuk bahagia.
Padahal sebelumnya Dania berpikir bahwa malam minggu ini akan menjadi malam yang membahagiakan. Awal dari kebahagiaan yang ingin Dania dapatkan, tapi sepertinya ini justru menjadi malam minggu terburuknya.
Dania sudah tidak lagi berani berharap akan kedatangan sosok tampan yang melontarkan kata sederhana yang penuh makna seminggu lalu, karena pada kenyataannya laki-laki itu memang tidak akan pernah datang.
Kabar mengenai Dava yang akan dijodohkan sudah Dania dengar lewat pesan singkat yang Devin kirimkan berserta untaian maaf yang adiknya itu ucapkan, di susul dengan pesan yang Rapa kirimkan dengan berisikan hal yang sama.
Dania tidak menyangka dirinya akan patah hati secepat itu, tapi ia cukup sadar bahwa mungkin Tuhan tidak menakdirkan laki-laki itu untuknya, namun tetap saja, retakan itu menggores hatinya.
Jika saja pertemuan itu tidak ada, jika saja ketertarikan itu tidak nampak, dan andai saja ucapan itu tidak terlontar dari mulut Dava, mungkin hingga saat ini harapan itu tidak akan pernah Dania miliki. Siapa yang patut Dania salahkan saat ini, Dava kah? Atau justru dirinya sendiri yang sembarang bermain hati?
Tok … tok … tok.
“Dania, makan dulu, yuk, Nak, Mama masak iga bakar madu kesukaan kamu.”
Entah untuk ke berapa kalinya ketukan dan panggilan itu terdengar dari balik pintu kamarnya, tapi tidak ada sedikit pun Dania berniat membuka pintu, meskipun makanan yang sang mama sebutkan memang menjadi favoritnya. Tetap saja tidak sedikit pun membuat Dania tergugah.
Dania tahu dengan dirinya seperti ini, membuat semua keluarganya kembali bersedih, termasuk sang mama, tapi untuk sekali lagi ini saja, Dania memohon maaf untuk tidak memedulikan kesedihan keluarganya seperti saat dirinya kehilangan Mike empat tahun lalu, dan setelah ini ia berjanji tidak akan lagi membiarkan hal yang sama terjadi. Malam ini Dania hanya ingin kembali menikmati kesedihannya yang diakibatkan oleh kegagalan dalam menggapai sebuah pernikahan.
Tok … tok … tok.
“Kak, ada tamu yang ingin bertemu Kakak.”
Tak berapa lama suara Devina yang terdengar dari balik pintu kamarnya, tapi Dania tidak sama sekali memedulikan. Dania tidak sedang ingin menemui siapa pun saat ini, biarlah sepi yang saat ini menemani.
Hingga suara Devina yang berkali-kali mengetuk pintu juga mengatakan tujuannya, di susul oleh suara Levin dan Devi bergantian, juga tak lupa si bungsu yang sejak kemarin melayangkan penyesalannya.
Dari panggilan-panggilan dan ketukan itu tidak sedikit pun mengusik Dania yang masih setia berbaring di ranjangnya dengan tatapan kosong tertuju pada langit-langi kamar. Sampai pada akhirnya deringan yang di iringi dengan getaran dari ponsel yang tergeletak di samping bantalnya mengusik Dania, apa lagi saat satu nama yang menjadi sumber kegalauannya tertera di layar datar itu.
Sekarang Dania tidak tahu harus melakukan apa, bahkan hingga layar di ponselnya kembali gelap, belum juga ada sendi-sendi Dania yang bergerak sampai sebuah pesan masuk dari nomor yang sama. Tanpa membuka pun Dania dapat mengetahui isi pesan tersebut, hingga beberapa detik berlalu ponselnya kembali berdering, menampilkan nama yang sama dengan sebelumnya. Ragu, Dania akhirnya meraih benda persegi itu dan menggeser tombol hijau di layar.
“Aku di depan rumah kamu.”
***
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome My Happiness
Fiksi UmumKesedihan seolah sudah menjadi teman setia Dania sejak calon suaminya pergi tanpa pesan, bukan pergi karena sebuah penghianatan, melainkan kecelakaan yang tidak pernah terbayangkan akan merenggut nyawa orang tersayang. Kejadian itu merenggut kebahag...