Sebelum membaca, tinggalkan jejak terlebih dahulu, yuk!😊😊
Selamat membaca!^^
**____________________________**
"Eh, Alexa sudah pergi?"
William yang sejak tadi menunggu Katherine untuk keluar dari kamarnya lantas segera menjawab ucapan putri itu, "Iya, sudah lumayan lama."
Katherine hanya mengangguk mendengarnya dan duduk di sofa. Ia menghabiskan teh miliknya yang masih tersisa sambil menatap sedih ke arah secangkir teh di hadapannya yang masih terisi penuh.
'Ah, ia membuat teh itu untuk Alexa, tetapi Alexa tadi sedang sibuk berbicara denganku sampai melupakan tehnya.'
Lagi-lagi ia merasa bersalah pada Katherine. Selain membuat Alexa melupakan keberadaannya karena asyik mengobrol bersama, ia juga membuat Alexa tidak meminum teh yang sudah dibuat oleh Katherine.
'Aku terus-menerus memberikan kesan buruk, padahal aku hanya ingin bersikap baik.'
"Tehnya boleh untukku?"
"Eh?" Katherine terkejut mendengar permintaan itu, "Ah! Teh itu sudah dingin. Aku akan membuatkan teh yang baru untukmu." ucapnya sambil berdiri.
"Tidak perlu, kupikir tehnya akan sayang jika dibuang begitu saja. Padahal kau sudah bersusah payah membuatnya." ucap William sambil mengambil cangkir itu.
'Setidaknya hanya ini yang dapat kulakukan untuk sedikit menghiburnya.'
"Jadi, boleh untukku, kan?" tanyanya sekali lagi karena Katherine tak kunjung menjawab permintaannya.
"Itu ... lebih baik aku buatkan yang baru saja."
'Kenapa ia masih menolak? Aku hanya ingin membuatnya tak lagi merasa sedih karena teh buatannya tidak disentuh sedikit pun oleh Alexa.'
"Aku anggap itu sebagai 'iya'," jawab William sambil tersenyum dan mulai meneguk teh itu, "Terimakasih banyak, Katherine."
"Ti-tidak, harusnya aku yang berterimakasih..."
William tersenyum walaupun perutnya terasa sedikit kembung karena minum terlalu banyak. Namun, itu bukan masalah baginya. Sebenarnya ia melakukan itu bukan hanya untuk menghibur Katherine, tetapi juga untuk meringankan rasa bersalahnya pada putri itu karena hatinya tidak akan merasa tenang jika perasaan itu dibiarkan.
'Pada akhirnya aku melakukan ini demi ketenangan diriku sendiri. Aku memang egois, padahal aku sudah berjanji pada ibunda untuk memperlakukan perempuan dengan baik.'
William tersenyum masam memikirkan hal tersebut. Begitu ia mengangkat kepalanya, ia melihat air mata terjatuh dari pipi putri itu.
"Eh? Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?" William yang panik segera menghampirinya dan melipat sebelah lutut untuk menyamakan tinggi dengan Katherine yang sedang duduk.
"Ah, ini ... tidak, tidak apa-apa."
Mendengar jawaban itu membuat perasaan bersalah yang mulai luntur kini kembali menyelimuti hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Fall In Love With You In Ten Days?
Teen FictionKatherine yang awalnya diperlakukan seperti boneka hidup kini terpaksa hidup mandiri supaya bisa masuk ke dalam Royale High, sebuah "sekolah" bagi pangeran dan putri dari setiap kerajaan yang ada selama sepuluh hari. Sesampainya disana, ia bertemu d...