Selamat membaca!
**______________________________""
"Yang Mulia!"
"Anda baik-baik saja?"
William mengelap darah yang menempel di pipinya menggunakan punggung tangan. Ia menelan ludah saat melihat warna merah mengotori sarung tangan putih yang ia gunakan. Dua minggu sudah berlalu sejak ia berada di medan perang dan dalam kurun waktu tersebut fobianya terhadap darah berkurang dengan drastis.
"Aku baik-baik saja," jawabnya sambil kembali mengangkat pedang. Sudah beberapa hari ini dia memberanikan diri menggunakan pedang untuk melawan musuh di barisan depan, namun busur dan anak panah yang biasa ia gunakan tetap terpasang di punggungnya.
Sebenarnya kemampuan berpedang William diakui oleh seluruh komandan tertinggi, hanya saja karena ketakutannya terhadap darah, tidak banyak yang mengetahui kemampuannya itu. Saat sedang berlatih melawan pasukannya pun ia hanya menggunakan pedang kayu untuk meminimalisir tergores sampai berdarah.
'Sekarang aku sudah baik-baik saja. Sebentar lagi fobia ini pasti akan segera menghilang. Setelah itu, aku akan menghabisi musuh secepat mungkin agar perang ini segera berakhir.' pikirnya sambil merangsek maju menerobos barisan musuh.
"Komandan Liel, di belakang Anda!" teriaknya saat melihat rekannya terkepung dari dua arah.
Komandan Liel berbalik dan menebas musuh yang hampir menusuk punggungnya, tetapi ada anak panah yang diam-diam mengincarnya dari atas. William segera menebas anak panah tersebut tepat sebelum mengenai kepala komandannya.
"Terima kasih, Pangeran." ucap Komandan Liel. Mereka saling memunggungi untuk melindungi bagian belakang satu sama lain.
"Tidak perlu berterima kasih untuk hal sekecil itu."
"Kalau begitu, ayo kita selesaikan ini dengan cepat. Pangeran pasti sudah tidak sabar ingin segera pergi ke Kerajaan Frynia."
William mendengus sambil tersenyum, "Rupanya hal itu sudah tersebar sampai ke telinga para komandan, ya."
"Jangankan komandan, kini seisi istana pun sudah tahu akan hal itu."
"Haha, kalau begitu, ayo kita segera akhiri perang ini!"
"Baik, Pangeran!"
_*_
"Ini surat kabar yang Tuan Putri minta."
"Baik, terima kasih."
Aku mengambil koran tersebut dan membaca setiap halamannya. Ketika sampai di halaman terakhir, aku cukup terkejut dengan isinya.
"Daisy, apa ini benar?" tanyaku sambil menunjuk sebuah judul yang tercetak besar.
Daisy mengangguk, "Benar, setahu saya, perang tersebut dipimpin langsung oleh putra mahkota Kerajaan Snyderith."
"...!"
William memimpin langsung dalam perang ini? Bagaimana dengan fobianya? Apa dia baik-baik saja?
"Tuan Putri tidak perlu khawatir. Saya dengar perang tersebut akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak mereka."
"Benarkah?" tanyaku khawatir. William masih tidak mengabariku sama sekali sejak terakhir kami berpisah. Aku bahkan baru tahu saat ini ia sedang berada di medan perang. Aku benar-benar berharap ia tidak terluka. Yah, walaupun itu sedikit mustahil, setidaknya ia tidak mendapat luka yang serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Fall In Love With You In Ten Days?
Teen FictionKatherine yang awalnya diperlakukan seperti boneka hidup kini terpaksa hidup mandiri supaya bisa masuk ke dalam Royale High, sebuah "sekolah" bagi pangeran dan putri dari setiap kerajaan yang ada selama sepuluh hari. Sesampainya disana, ia bertemu d...