Menutup Kisah

5.1K 400 0
                                    

Selepas melakukan tradisi masuk satuan, Abid menempati barak remaja. Setelahnya, disibukkan untuk masuk kesatuan Raider dan mengikuti pendidikan di Batu jajar. Ia menyibukkan diri di dunia militernya, mencoba melupakan semua yang membuatnya terluka.

Rasa untuk Mira itu  masih ada, meski telah diterima penolakan dari gadis itu. Dengan mengumpulkan niat bulat, ia menghapus nomor Mira di ponselnya. Ia menutup semua kenangan bersama Mira, yang pasti bersama Rayyan juga.

Menjadi komandan pleton, membuatnya sibuk. Hingga akhirnya ia perlahan mulai abai dengan rasa sakit. Setiap menghubungi Rayyan, sebisa mungkin ia tak mengajak Rayyan untuk berbincang tentang Mira. Setiap Rayyan hendak bercerita tentang Mira, Abid langsung mengakhiri sambungan telepon dengan alasan ‘ada yang harus dikerjakan’.

Semua berjalan cepat, hampir dua tahun ia menempati asrama Benteng Raider. Ia memulai hidup baru di tempat itu. Meluapkan rasa sakit yang pada akhirnya tak pernah sempat sembuh itu.

“Bang, Saya kenalin cewek, dokter nih.” Abid bosan dengan kalimat itu. Semua Adik Letting, teman Letting, sampai Abang Letting selalu menawarinya begitu. Memangnya terlihat mengenaskan sekali kah?

“Nggak! Saya nggak mau pacaran!” Setahun terakhir, Abid mencari ketenangan. Dan sebuah forum kajian yang ia dapatkan. Ia menata kehidupannya dari awal. Mulai mendekat pada Sang Khaliq karena ia sadar bahwa ia begitu lemah tanpa-Nya.

“Yaelah, ya diajak nikah kalau nggak mau pacaran!” Semua juga tahu tentang Abid yang tak mau terikat oleh hubungan pacaran. Abid tidak neko-neko, ia lebih memilih menikah daripada berpacaran. Bukan tanpa alasan, dia tak ingin bermain-main di usianya yang menginjak 26 tahun itu.

“Gampang lah! Ada waktunya semuanya.” Adik Lettingnya itu hanya manggut-manggut. Siapa yang tak mengenal pribadi Abid? Kurasa semua mengenal. Seorang Komandan Pleton dengan sikap cuek, tapi selalu peduli dengan anggotanya.

‘Ustadz Abid’ tak sedikit orang-orang memanggilnya dengan sebutan itu. Risih juga bagi Abid dipanggil demikian. Panggilan itu bermula ketika Abid menasihati anggotanya yang ketahuan mabuk di belakang gudang penyimpanan beras. Ia naik pitam melihat kelakuan anggotanya itu. Setelah itu, Abid mengajak aanggotanya untuk bertaubat dan ikut kajian bersama Abid.

“Kalau macam Ustadz Abid ini, cocoklah dia sama ustadzah. Minimal yang bergamis lah!” celetuk Adik Letting yang suka sekali menjahili Abid. Meskipun begitu, Abid tak pernah ambil hati.

“Aamiin kan saja lah!” balas Abid dengan malas-malasan. Mereka hanya tidak tahu, Abid bersikap begini karena pernah terluka di masa dulu. Ia menutup hati untuk wanita karena masih terluka akibat penolakan Mira. Dan ... masih ada setitik cinta untuk Mira di hatinya.

Hampir dua tahun ia berusaha menyembuhkan luka yang tampaknya sudah mendarah daging itu. Usahanya bubar, kocar-kacir karena sebuah pernyataan yang menjelma menjadi air jeruk nipis yang menyiram lukanya. Perih!

“Lo ... kapan nikahnya?” Ia mengetap bibirnya, mencoba untuk  berbicara tegar di ujung telepon.
“Dua minggu lagi. Parah kan? Yaudah lah, mau gimana lagi? Nggak tega Gue nyakitin perempuan. Semoga aja rasa cinta untuk dia cepat hadir.”

“Terus, Risel gimana? Lo nggak tau kan perasaan dia?”

“Hahaha, Lo jangan buat Gue ngakak deh. Risel tuh cuman nganggap Gue sebagai kakak. Sakit juga ya. Ini kayaknya keputusan yang Gue ambil, kasihan Mama.”

“Serah Lo deh! Nikah di Magelang?”

“Iya, lah. Lo balik ke Magelang ya! Dua tahun kita nggak ketemu, Bid. Nggak kangen apa Lo?”

“Oke. Gue balik. Tapi nggak janji deh.” Jelas saja Abid berat untuk menyaksikan pernikahan orang yang dicintainya dengan sahabatnya sendiri.

“Tapi Gue lusa mau ke Wamena. Doain Gue, ya ngeri soalnya kalo udah bentrok.”

“Ya Allah, mau nikah bukannya cuti malah kena tugas.”

“Oh iya, Bid. Lo mau Gue kanalin sama Risel nggak? Dia sholeha cocok sama Lo yang sholeh. Hidup nggak ada yang tau kan sampe kapan. Gue mau bilang makasih ke Lo udah jadi sobat Gue selama ini. Tolong, Lo mau nggak nikah sama Risel? Gue yakin Lo bakal cinta sama dia. Ya meskipun dia bukan seorang dokter yang selalu disandingkan dengan perwira. Dia guru, pasti dia bisa jadi madrasah yang baik buat anak-anak Lo. Tapi kalo Lo nggak bisa, ya Gue nggak maksa sih. Cuma Gue minta Lo jagain dia ya! Jangan sampe dia nikah sama lelaki yang nggak baik.”

Abid menegang. Bisa-bisanya sahabatnya berbicara seperti itu di saat pernikahannya kurang dua pekan.
“Ah ngomong apa sih Lu? Udah ah, Gue apel sore.”

Sejak obrolan itu, Abid merasa gundah. Rayyan memintanya untuk menjaga Risel. Ah, bahkan menikahi. Ini terlalu di luar akal untuk Abid. Mana mungkin ia mau menikah dengan orang yang tak ia kenal.

***

Abid memandang jalanan kosong. Dia mengemudi dengan hati yang kacau. Begitu sampai, dia langsung memarkirkan mobilnya. Matanya melihat gadis dengan wajah sendu sedang menangis di samping batu nisan. Ia memperhatikan dari jauh.

Saat gadis itu hendak keluar dari area pemakaman, langsung terkejut melihat Abid. Gadis itu tak banyak bicara. Dari Rayyan?” Langkah Gadis itu terhenti ketika mendengar suara tanya Abid. Ia langsung membalikkan badannya, menghadap Abid yang memakai  jaket abu-abu.

“Eh, iya. Kamu pulang?” Abid mengangguk.

“Yang sabar ya, turut berduka cita.”

“Aku juga paham, kamu sama kehilangannya sama aku. Kita besar bareng, jadi berat kehilangannya.” Abid tersenyum, lalu meraup mukanya.

“Yah lebih berat kamu, statusnya calon istri. Kalo aku kan sebagai teman.” Dia langsung tertawa kecil, mengajak Mira untuk tersenyum.
“Yaudah sana pulang, hati-hati. Aku mau nengok makam Rayyan dulu. Assalamualaikum,”

Perempuan bernama Mira mengangguk, “Waalaikumussalam.”

Abid duduk di samping gundukan tanah. “Rayyan Lo yang tenang ya! Gue janji bakal jagain Risel , gadis yang Lo suka itu. Makasih ya Lo udah jadi sahabat Gue. Lo pernah nyembuhin luka Gue. Yahh, luka itu masih bersarang, Yan. Nggak tau sampe kapan.”

Tak banyak bicara, Abid langsung kembali ke rumahnya. Lebih tepatnya Rumah Uminya. Ia masuk dengan tubuh lunglai. Melabuhkan badan di atas ranjang miliknya. Rumah itu masih sama seperti enak tahun yang lalu. Sunyi, tampak mencekam untuk seorang Abid.

Mbak Retno pun jarang datang ke rumah ini semenjak ia menikah empat tahun lalu. Bahkan, ketik perempuan itu menikah, Abid tak dikenalkan di depan keluarga suaminya.

“Arghhhhhhhh! Kenapa kehidupan seperti ini? Abah, Umi Abid ingin kembali ke masa kecil dulu.”

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang