Bangkit

3.3K 322 40
                                    

Duduk di bangku penumpang, memandang sendu luar jendela. Tidak ada yang diamati. Luka hatinya mengambil alih fokusnya. Semua menjadi tak bermakna, hanya sakit yang paling dirasa saat ini.

Berada di dalam bus dengan hati yang patah. Ini bukan pertama bagi Risel. Dulu pernah patah setelah mendengar bahwa Rayyan akan menikah. Dan saat itu ia juga memilih untuk duduk di bangku penumpang dalam bus.

Ini terparah. Ini benar-benar sampai pada puncak kesabaran. Kejadian semalam masih terngiang-ngiang, menari di pikiran Risel. Ah, tentu itu membuat Risel patah dan hancur. Ia mengelap air matanya, pikirannya kembali memutar kejadian semalam ...

Sepertinya malam memang menjadi moment yang selalu membuat Risel menangis. Tapi beda dengan malam ini. Semua seperti berhenti tiba-tiba. Hanya napas dan detak jantungnya yang tak berhenti. Matanya memanas, menatap lelaki di hadapannya.

Ia melempar ponsel Abid, tak peduli remuk atau tidak. Yang dia tahu, dia sedang dihancurkan detik itu juga.

“Udah, aku capek!” kata Risel sedikit berteriak. Abid hanya diam.

“Liat, liat! Itu pesan dari siapa lagi?”

“Demi Allah, aku sakit hati. Aku kecewa, aku marah, aku marah  sama kamu!”

Lagi-lagi Abid hanya diam.

Risel tersulut emosi ketika membaca pesan dari Mira di ponsel Abid. Sebuah pesan yang pasti membuat Risel hancur.

[Mira]
Bid, tolong. Aku cinta kamu. Kita bisa mulai dari awal. Kemarin kamu janji akan buat aku bahagia, kan?

“Sekarang aku pasrah. Semua terserah kamu! Aku nggak akan nahan kamu. Tapi lepas aku! Kamu nggak mungkin memiliki keduanya, kamu seorang perwira!”

Abid mengepalkan tangannya, “Nggak! Kamu salah paham. Aku nggak ada niatan begitu.”

“Terserah apa kata kamu. Aku udah capek, aku capek terus-terusan diam. Aku tau aku nggak semestinya ngomong kasar ke kamu. Tapi aku udah capek, sangat capek.”

Abid mendekat, mencoba memeluk Risel namun ditepis kasar oleh Risel. “Jangan pegang aku!”

Risel mengelap air matanya kasar, matanya memandang lekat Abid, “Mas, aku mohon kali ini aja kamu turutin permintaanku. Izinin aku pulang ke Ibu—“

“Nggak. Aku nggak mau!”

“Mas! Kamu nggak boleh egois. Hatiku hancur, aku butuh ketenangan untuk mengobati. Tolong, beri aku jeda sebentar. Biarkan aku menenangkan pikiran dan hatiku, lalu terserah untuk setelahnya.”

Abid menapa Risel sayu. Ia tak rela melepas Risel.

“Aku nggak pergi dari hidupmu, aku Cuma minta izin untuk pulang. Aku butuh ketenangan. Tapi kalau kamu mau aku pergi dari hidupmu, aku sanggup. Aku nggak sanggup kalau terus kamu ajak menyelam dalam masa lalumu bersama Mira!”

“Nggak. Aku nggak akan berhenti menjadi pendampingmu. Oke, aku izinin kamu pulang, tapi aku antar.”

Risel menggeleng, “Nggak bisa. Kamu sibuk, kamu ada tanggung jawab untuk negara ini. Aku akan bilang ke Ibu kalau kamu sedang bertugas. Tenang, kamu masih suamiku maka aku akan menjaga aib keluarga ini.”

“Jangan lama-lama. Pergilah, lalu kembalilah. Kamu Cuma salah paham, sama sekali nggak ada Mira di hatiku.”

Malam itu pertama kali mereka tidur terpisah. Abid memilih tidur di kamar tamu, memberi Risel keleluasaan.

“Mbak, mari turun sudah masuk kapal,” Risel mengerjapkan matanya, memandang sekeliling yang sudah kosong. Dia membuang jauh lamunannya, lalu segera turun menggendong Alfath.

Ia masuk ke ruangan VIP. Meletakkan tas di sampingnya, lalu menidurkan Alfath di sofa dalam ruangan VIP. Tangannya menyentuh pipi Alfath yang sudah tak seberapa gembil. Dipandangnya wajah Alfath yang mirip dengan Abid.

Mengingat Abid, hatinya kembali bergemuruh. Kepingan kejadian semalam terus terputar. Matanya memanas mengingat pesan dari Mira. Sungguh, ia tak ikhlas menerima kenyataan.

***

Pukul 10.00 WIB ia sampai di terminal Rajabasa. Para agen travel sibuk menawarkan jasa pada Risel. Namun di tolak. Risel lebih nyaman menaiki bus daripada travel. Lagi pula barang bawaan Risel tak banyak. Hanya satu koper dan satu tas gendong berisi perlengkapan Alfath.

Setelah menempuh waktu tiga jam, ia sampai di pinggir kota. Ia perlu memesan ojek untuk tiba di rumah Ibu.

Ia deg-degan, membayangkan ekspresi Ibunya saat melihatnya pulang. Padahal janjinya ia akan pulang hari raya yang tinggal satu bulan dua hari lagi.

“Assalamualaikum,” salam  Risel. Tak lama, wanita paruh baya yang melahirkannya dua puluh lima tahun yang lalu menyembul dari balik pintu. Matanya memandang lama, lalu beralih pada Alfath yang juga memandang Siti.

“Allahu Akbar, Sayangku Risel!” Siti memeluk Risel, membuat Alfath merengek karena tergencat. Risel menurunkan Alfath yang langsung berjalan perlahan masuk ke dalam rumah Neneknya.

“Kok nggak bilang kalau mau pulang? Abid mana? Dia kenapa nggak ikut?” Siti menyerang Risel dengan pertanyaan.

“Aduh, Ibu selalu nanyanya nggak bisa satu-satu. Mas Abid nggak bisa ikut, lagi ada tugas. Risel disuruh Mas Abid tinggal sementara di sini saat Mas Abid tugas. Boleh, kan?”

“Tentu, Nak. Ibu senang kamu udah pulang. Uluh, cucu Nenek udah bisa jalan ya?” Siti beralih merangkul Alfath. Yang dirangkul langsung melepas pelukan Neneknya. Ia memang sedikit risih saat dirangkul selain Baba dan Ammahnya.

“Sayang, ini Nenek. Peluk dong,” perintah Risel dengan lembut. Alfath langsung diam saat dipeluk Siti.

Risel masuk ke dalam kamarnya. Sudah dua tahun tak ia jamah. Rasanya rindu dengan nuansa biru itu.

“Bismillah, aku siap menerima semua kenyataan,” gumam Risel sebelum merebahkan badan lelahnya di kasur.

Semua pilihan Abid mungkin yang terbaik. Tak perlu lagi mempertahankan hubungan yang selalu membuatnya sakit hati.

“Bangkit, aku harus bangkit. Nggak boleh lemah, karena aku masih punya hati yang terlalu mahal untuk sekadar disakiti.”

Next????

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang